Kisah Tragedi Simpang KKA yang Diakui Jokowi Sebagai Pelanggaran HAM Berat

BANDA ACEH | ACEHHERALD – Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengakui tragedi Simpang KKA di Aceh Utara sebagai pelanggaran HAM berat. Insiden yang menewaskan puluhan orang itu terjadi pada tahun 1999. Seperti apa kisah tragedi Simpang KAA itu, berikut ulasannya yang dikutip detikSumut, Rabu (11/1/2023) dari ‘Ringkasan Eksekutif Laporan Penyelidikan Pelanggaran HAM yang Berat Peristiwa Simpang … Read more

Iklan Baris

Lensa Warga

BANDA ACEH | ACEHHERALD – Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengakui tragedi Simpang KKA di Aceh Utara sebagai pelanggaran HAM berat. Insiden yang menewaskan puluhan orang itu terjadi pada tahun 1999.

Seperti apa kisah tragedi Simpang KAA itu, berikut ulasannya yang dikutip detikSumut, Rabu (11/1/2023) dari ‘Ringkasan Eksekutif Laporan Penyelidikan Pelanggaran HAM yang Berat Peristiwa Simpang KKA Aceh’.

Peristiwa itu terjadi pada 3 Mei 1999 di Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara. Laporan tersebut diteken Ketua Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Peristiwa di Aceh (SIMPANG KKA) DR. Otto Nur Abdullah pada 14 Juni 2016 lalu.

Dalam laporan itu dijelaskan, peristiwa itu bermula saat warga Dusun Uleetutu, Desa Lancang Barat, Kecamatan Dewantara, Aceh Utara menggelar peringatan 1 Muharam pada 1 Mei 1999. Kegiatan itu diisi dengan dakwah Islamiyyah yang dimulai sekitar pukul 20.00 WIB hingga pukul 24.00 WIB.

Ketika dakwah berlangsung, seorang anggota Detasemen Arhanud Rudal 001 Pulo Rungkon (Den Arhanud Rudal 001) bernama Adityawarman diduga hilang karena diculik. Keesokan paginya, tiga truk reo berisi anggota Den Arhanud Rudal 001 menyisir kampung Lancang Barat dan Cot Murong.

Dalam penyisiran itu, prajurit Den Arhanud Rudal 001 disebut melakukan interogasi disertai kekerasan terhadap warga desa. Setelah penyisiran tidak membuahkan hasil, tentara kembali ke markas.

Dua jam berselang atau sekitar pukul 10.00 WIB, serdadu kembali ke Desa Lancang Barat dengan menggunakan seragam dan persenjataan lengkap. Prajurit TNI itu disebut kembali menyisir wilayah tersebut.

“Pada penyisiran kali ini ada tiga warga yang ditangkap. Penangkapan warga ini dilakukan secara acak tanpa dasar penangkapan yang jelas. Kemudian terjadi negosiasi antara warga dengan Danramil yang datang ke lokasi dengan didampingi oleh tiga orang anggotanya yang bersenjata,” tulis laporan tersebut.

Salah satu kesepakatan dalam negosiasi itu adalah bila tentara masuk desa harus didampingi Muspika. Malam harinya, warga mendapat informasi militer bakal masuk desa lagi.

Masyarakat Lancang Barat dan sejumlah desa lain akhirnya berjaga-jaga. Namun malam itu tidak terjadi apa-apa.

Pada 3 Mei 1999 sekitar pukul 7.30 WIB, satu truk yang ditumpangi prajurit Den Arhanud Rudal 001 dan dua truk pasukan kesatuan Yonif 113 Bireuen kembali datang ke desa. Mereka ingin melakukan penyisiran lagi namun tanpa didampingi Muspika.

Baca Juga:  Satu Angka, Bekal Untuk Terus di Hati ‘Tifosi’

“Hal ini menyebabkan warga marah karena TNI dianggap melanggar kesepakatan kemarin. Warga menghadang truk reo dengan pos ronda dari papan kayu yang diangkat ke tengah jalan dan drum,” tulis laporan tersebut.

“Lokasi Desa Lancang Barat berada di pinggir jalan kabupaten jadi anggota TNI tidak sempat turun dari truk karena sudah dihadang oleh warga. Truk keluar menuju Jalan Raya Medan-Banda Aceh,” lanjut laporan itu.

Warga disebut mengejar tentara dan mengumpat dalam bahasa Aceh. Ketika warga bergerak, tentara bertahan di Simpang KKA. Simpang ini adalah sebuah persimpangan jalan dekat pabrik PT Kertas Kraft Aceh (KKA).

Kala itu, seorang tokoh pemuda Lancang Barat naik ke truk reo dengan tujuan ikut mengendalikan massa. Di atas truk sudah ada Camat Dewantara.

Tokoh pemuda itu meminta masyarakat tetap tenang karena sedang dilakukan negosiasi dengan Den Arhanud Rudal 001. Namun Komandan Arhanud mengaku negosiasi tidak dilakukan di lokasi tapi di markas yang berjarak sekitar 2 KM dari Simpang KKA.

Warga tidak setuju. Sekitar pukul 11.00 WIB, terdapat pengerahan tentara karena ada informasi warga Lancang Barat akan menyerang markas Den Arhanud Rudal 001. Lalu lintas saat itu sudah macet karena banyak masyarakat terkonsentrasi di Simpang KKA.

Bus yang melintas di jalan nasional Medan-Banda Aceh dihentikan oleh warga. Penumpangnya diminta turun.

Massa yang terkonsentrasi semakin banyak sampai jarak sekitar 1 KM dari Simpang KKA. Mereka juga sempat menyampaikan beberapa tuntutan.

Sejam berselang atau pukul 12.00 WIB, pasukan Yonif 113 bergerak ke arah Detasemen Arhanud Rudal 001 namun ditahan oleh warga.

Seorang pasukan Yonif 113 menghubungi Den Arhanud mengabari tidak dapat melintas. Selang sekitar 10-15 menit, pasukan Den Arhanud datang ke lokasi dengan menggunakan truk colt militer.

Anggota Den Arhanud disebut menggunakan seragam loreng hijau, memakai atribut Den Arhanud Rudal 001 dan menggunakan senjata jenis SS1 dengan ujung kain merah dibaju dan di baret. Salah seorang tentara mengambil kayu di samping warung pinang dan melemparkannya ke warga.

Baca Juga:  Mahfud: Pemerintah Tak Minta Maaf soal Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu

Lemparan itu dibalas warga dengan melempar batu. Pasukan Den Arhanud lalu mengarahkan tembakan lurus ke arah warga berkumpul dan menembak selama kurang lebih 20 menit. Pasukan dari Batalyon 113 melakukan tembakan susulan.

“Warga yang berada di Simpang KKA berlarian ke segala arah dan banyak di antara warga tersebut yang berteriak ‘tiarap!’ atau dalam bahasa Aceh ‘crup!’. Sebagian besar warga kemudian bertiarap di tempatnya berada. Namun banyak juga yang belum sempat tiarap telah tertembak pada saat peristiwa Simpang KKA ini,” tulis laporan tersebut.

“Warga yang berkumpul diduga mencapai ribuan orang, dari yang sekadar ikut-ikutan, kebetulan berada di lokasi, ditahan saat melewati lokasi, dan sengaja datang. Namun di sisi lain akses jalan sudah tertutup oleh kerumunan masa yang berkumpul di Simpang KKA,” lanjut laporan itu.

Komnas HAM menyebutkan korban tewas dalam insiden itu sekurang-kurangnya 23 orang. Sementara korban luka-luka sekurang-kurangnya 30 orang.

“Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus, saya sebagai kepala negara Republik Indonesia, mengakui pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa. Dan saya sangat menyesalkan terjadinya pelanggaran HAM yang berat,” kata Jokowi dalam konferensi pers, Rabu (11/1/2023) seperti dikutip dari detikNews.

Berikut ini daftarnya pelanggaran HAM masa lalu yang diakui Jokowi:

1. Peristiwa 1965-1966
2. Penembakan Misterius 1982-1985
3. Peristiwa Talangsari Lampung 1989
4. Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh 1998
5. Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998
6. Peristiwa Kerusuhan Mei 1998
7. Peristiwa Trisakti Semanggi 1 & 2 1998-1999
8. Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999
9. Peristiwa Simpang KAA di Aceh 1999
10. Peristiwa Wasior di Papua 2001-2002
11. Peristiwa Wamena Papua 2003
12. Peristiwa Jambo Keupok Aceh 2003

Tulisan ini bukan untuk membuka luka lama, tapi sebagai pengetahuan bahwa di Aceh pernah terjadi pelanggaran HAM berat, dilansir dari detiksumut.

Berita Terkini

Haba Nanggroe