Bunyi sumpah anggota DPRA, menurut Tata Tertib (Tatib DPRA), yang tertulis dalam Peraturan DPRA No. 1, tahun 2019 adalah sebagai berikut;
“Demi Allah (Tuhan), saya bersumpah/berjanji:
Bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai Anggota/Ketua/Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan dengan berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945;
Bahwa saya dalam menjalankan kewajiban akan bekerja dengan sungguh-sungguh demi tegaknya kehidupan demokrasi serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang dan golongan;
Bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Teks sumpah tersebut di atas, dikutip dari Tatib secara utuh melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 12 tahun 2018, sebagai turunan UU No. 23 tahun 2014, tentang Pemerintah Daerah (Pemda).
Hari ini, Senin, 30 September 2024, sumpah tersebut di atas diucapkan oleh seluruh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), yang baru terpilih untuk periode 2024-2029. Mereka adalah anggota baru berdasarkan hasil Pemilihan Umum (Pemilu) serentak di seluruh Indonesia, pada 14 Februari 2024 lalu. Di Aceh, mereka memperebutkan 81 kursi, yang merepresentasikan sekitar 5 juta warga Aceh di 23 Kabupaten/Kota.
Sumpah itu sendiri diucapkan dengan “kesaksian’ kitab suci Al-Quran, yang secara simbolik diletakkan di atas kepala para anggota dewan, pertanda bahwa sumpah itu langsung disaksikan Allah Subhanahu wata’ala (SWT) sebagai pemilik firman-firman di dalam kitab suci umat Islam.
Maka dengan demikian, secara teologis sumpah itu bukanlah sembarang sumpah, tapi janji kepada Tuhan yang mereka sembah, bahwa Tuhan menyaksikan sumpah tersebut dengan segala konsekuensinya.
Untuk lebih jelas, mari kita telaah sekali lagi poin-poin yang disumpahkan para anggota dewan tersebut? Setidaknya ada delapan (8) poin yang diperjanjikan di hadapan Tuhan, rakyat dan tentunya kepada diri mereka sendiri, antara lain;
- Menjalankan kewajiban sebagai anggota dewan dengan sebaik-baiknya;
- Berlaku adil; seadil-adilnya;
- Menjalankan Perundang-undangan dengan berpedoman pada Pancasila dan UUD-1945;
- Bersungguh-sungguh menegakkan demokrasi;
- Mengutamakan kepentingan bangsa dan negara; bukan pribadi, seseorang dan golongan;
- Memperjuangkan aspirasi rakyat;
- Mewujudkan Tujuan Nasional;
- Demi kepentingan bangsa dan NKRI.
Kita sebagai rakyat Aceh, tentu saja juga ikut menjadi saksi dari sumpah anggota dewan tersebut di atas. Bukankah sumpah itu diucapkan sebagai wakil rakyat, yaitu wakil dari 5 juta rakyat Aceh.
Tapi kemudian muncul pertanyaan; bagi kita, apakah makna dari sumpah tersebut? Dapatkah kita sebagai rakyat memberikan sanksi atau hukuman kepada mereka yang telah bersumpah itu, seandainya nanti mereka mengingkari sumpahnya sendiri? Atau bagaimanakah sumpah itu memiliki makna yang kongkrit bagi rakyat, apabila nanti ternyata bahwa tidak ada satupun dari delapan poin yang disumpahkan di atas, atau setidaknya sebagian, tidak dijalankan; sementara kita merasa dibohongi, namun tidak bisa berbuat apa-apa?
Tentu saja itu pertanyaan yang sangat sulit dijawab, dan boleh jadi tidak ada yang bisa kita lakukan, kecuali bahwa lima tahun kemudian, pada Pemilu berikutnya, kita tidak lagi memilih orang atau partai mereka. Masalahnya, meskipun kita bisa memberikan “hukuman” dengan tidak lagi memilih mereka pada Pemilu berikutnya. Tapi makna itu serasa hampa belaka, karena hanya bisa terjadi dalam lima tahun sekali. Sementara selama rentang waktu, saat sumpah itu diambil hingga masa tugas berakhir, rakyat benar-benar menjadi pecundang, dan terpedaya tanpa daya? Rakyat hanya bisa diam saja, saat menyaksikan tindakan-tindakan para wakil rakyat di gedung dewan yang mungkin tidak layak dan jauh dari kepatutan. Biasanya, dalam keadaan seperti itu, semua orang hanya bisa mengelus dada. Begitulah fenomena yang selama ini selalu terjadi.
Mungkin bagi manusia, dalam kehidupan ini, sumpah-sumpah tersebut seakan lewat begitu saja tanpa makna. Dan seakan-akan, pelanggaran atas sumpah tidak berdampak apa-apa bagi para anggota dewan yang melanggar sumpah mereka sendiri. Malah bisa jadi, mereka semakin berjaya, berkuasa dan mungkin tetap terpilih pada priode berikutnya, tanpa hukuman. Bahkan, kutukan dan derita rakyat yang merasa dibohongi ternyata tak berakibat apa-apa bagi sang pelanggar sumpah.
Bukankah, secara kasat mata, dalam kehidupan kita sehari-hari, terlihat dan terasa selalu demikian adanya? Ada situasi dimana, pengkhiantan terjadi tanpa penghukuman.
Tapi mungkin tidak. Sebab, bobot utama sumpah bagi seorang Muslim adalah janji dia kepada Tuhannya, selain janjinya kepada diri sendiri, dan juga kepada bangsa serta negara. Boleh jadi, pelanggaran sumpah yang dilakukan seorang anggota dewan di kemudian hari tampak tak berakibat apa-apa. Tapi sumpahnya kepada Tuhan; yang diucapkan dengan kata “Demi Allah”, pasti memiliki konsekuensi ilahiah di kemudian hari. Di sinilah sebenarnya hakikat pengambilan sumpah bagi anggota DPRA menemukan makna sejatinya. Alih-alih sekadar berjanji kepada rakyat, mereka lebih terikat pada sumpah dan Janji kepada Tuhan mereka, pemilik alam semesta ini, dengan segala konsekuensi ilahiahnya.
Akibat dari sumpah itu adalah pasti, dan pasti; baik dalam kehidupan maupun di dalam kematian; begitulah ajaran keyakinan kita sebagai seorang muslim.
Saya tak perlu menjelaskan hakikat sumpah, baik dalam perspektif hukum, sosial, agama atau psikologis. Ada banyak model sumpah yang kita kenal, termasuk dalam konteks budaya dan mitos. Ada sumpah yang terasa sakral, seperti sumpah atas nama Tuhan, tapi ada juga sumpah yang terkesan lucu, seperti ‘sumpah pocong”, misalnya. Tapi intinya tetap sama. Sumpah adalah perjanjian. Meminjam istilah di dalam hukum Perdata, disebutkan; Pacta Sunt Servanda (Perjanjian Harus Ditepati), oleh karena itu dipahami bahwa “perjanjian adalah hukum bagi para pihak yang membuat perjanjian tersebut”. Soal sanksi, biarlah menjadi urusan Tuhan sang pemilik sumpah itu sendiri. Kita manusia, setidaknya akan tetap bisa menjadi saksi; dalam kehidupan, maupun di dalam kematian.
Kepada anggota DPRA yang baru dilantik dan sudah bersumpah. Selamat menjalankan tugas. Semoga Allah, SWT., selalu membimbingmu. Wallahu’alam.