
JAKARTA | ACEH HERALD.com-
Ingat polisi genteng sang penembak teroris di Sarinah, Ingat Dedy Tabrani! Kini putra Aceh berpangkat Kombes Polisi juga sudah bergelar doktor.
Putra mantan dekan Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala (FEB USK), Drs Tabrani Ibrahim gelar doktor pada Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK-PTIK) Jakarta. Ia juga menulis buku tentang aksi bom bunuh diri yang melibatkan keluarga.
Menurut Dedy Tabrani, bom bunuh diri keluarga di Surabaya pada 2018 merupakan strategi baru dalam modus dan operandi aksi terorisme di Indonesia.
Sebelum kasus tersebut, belum ada kasus teror di Indonesia yang melibatkan satu keluarga untuk menjadi martir bom bunuh diri secara bersamaan. Aksi terorisme keluarga di Surabaya disinyalir bersifat ekatologis (agama), bukan dimotivasi oleh faktor ekonomi dan politik.
Demikian benang merah yang disampaikan oleh penulis Dr. Dedi Tabrani, dalam diskusi bedah bukunya bertajuk “Terorisme Keluarga: Studi Bom Bunuh Diri Keluarga Batih di Surabaya 2018” yang diadakan pada Rabu (13/4/2022) di Jakarta.
Diskusi yang digelar oleh Pusat Kajian Keamanan Nasional Universitas Bhayangkara Jakarta Raya (Puskamnas UBJ) itu menghadirkan penanggap Dr. Reza Idria, (Dosen UIN Ar-Raniry Banda Aceh), Dr Mohammad Riza Widyarsa, (Dosen Universitas Maritim Raja Ali Haji, Kepulauan Riau), dan Al Chaidar, M.Si (Dosen Universitas Malikussaleh Lhoksumawe).
Menteri Dalam Negeri Prof. HM Tito Karnavian, Ph.D, Rektor UBJ Dr. Drs Bambang Karsono, dan Kepala Puskamnas juga memberikan kata sambutan pada acara tersebut.
Buku yang ditulis Dedi Tabrani, putra mantan Dekan Fakultas Ekonomi Univesitas Syiah Kuala (USK) Drs Tabrani Ibrahim ini merupakan disertasi pada program doktoral STIK-PTIK. Buku tersebut mengangkat tema tentang terorisme keluarga yang dalam beberapa tahun terakhir terus marak dan menjadi trend dalam kontestasi dan perlombaan aksi terorisme antar kelompok radikal.
Disebutkan setelah bangkit dan runtuhnya Negara Islam Irak-Suriah (NIIS) atau ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) 2013-2018, perempuan dan anak-anak menjadi sasaran (target) untuk dipengaruhi dan diajak bergabung dalam aksi teror dan perang brutal melalu propaganda di internet dan media sosial di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Hasil penelitian BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) dan para pakar menunjukkan bahwa masuknya radikalisme di Indonesia melalui empat pintu, antara lain: resitasi, konflik lokal, hubungan keluarga, dan sekolah.
Pengajian, pengajaran dan indoktrinasi melalui forum mejelis taklim yang ekslusif dan terbatas adalah salah satu pintu masuk yang sangat menonjol dalam membentuk proses menjadi radikalisme.
Dalam buku ini, Kombes Dedi Tabrani mengungkapkan bahwa di balik tragedi terorisme keluarga terdapat aktor intelektual yakni “ulama kekerasan” yang memberikan pengaruh berupa kesadaran keagamaan secara eksklusif, fanatik, radikal, dan penuh kekerasan.
Dari hasil penelitiannya, Dedi memandang bom bunuh diri 8-9 Mei 2018 di Surabaya dan Sidoarjo adalah buah dari ‘’indoktrinasi dan pengolahan’’ ulama kekerasan terhadap keluarga pelaku.
“Para ulama jenis ini yang menjadi panutan dan kepercayaan taklid oleh para pelakunya. Ulama kekerasan ini mampu mengartikulasikan ideologi secara radikal, eksklusif, dan tertutup ke dalam kesadaran kolektif pengikutnya,” kata Dedy ini menambahkan.
Rektor UBJ Bambang Karsono dalam sambutannya menyatakan, tren terorisme seperti itu sudah seharusnya menjadi perhatian kita semua. Pasalnya, terorisme telah mengintai keluarga untuk menjadi pengantin dalam aksi terorisme di Indonesia.
“Keluarga adalah tiang negara. Jika seluruh keluarga di Tanah Air kita baik dan berkualitas, maka Indonesia pun akan menjadi negara maju, unggul dan sejahtera, ” sebutnya.