SINAR mentari mulai tampak garang menyengat, kala waktu menunjukkan pukul 09.15, Sabtu hari kedua Bulan September 2024, saat sosok lelaki berbusana sporty warna gelap mulai dari topi softball hingga sepatu kets itu tiba di bibir pantai (pasie) Gampong Baro Kecamatan Mesjid Raya, Aceh Besar.
Tanpa sungkan pria yang ternyata figur nomor satu di Aceh Besar, Muhammad Iswanto SSTP MM itu turun dari mobilnya dan menghampiri para nelayan yang duduk di atas panteu atau bangku kayu di Pasie Gampong Baro.
Debur ombak yang berkejaran menghempas tepian pantai terdengar jelas, di antara tawa renyah para nelayan pukat darat yang menanti waktu untuk melabuh. Secara serempak mereka menjawab salam dari sosok yang tak mereka duga muncul di hadapan. “Alhamdulillah, ka troh Pak Bupati lagoe, neudeuk hai Pak (Alhamdulillah, ternyata sudah sampai Pak Bupati. Silakan duduk Pak ,” tutur salah seorang dari mereka, saat menyadari pria yang menghampiri mereka seorang Penjabat Bupati Aceh Besar.
Semua mengalir begitu saja, tak ada yang diistimewakan. Iswanto lalu duduk di bangku kayu bersama beberapa orang nelayan pukat darat Pasie Gampong Baro. Suasana makin hangat saat Iswanto meminta ADC nya menurunkan kopi plus sarapan pagi ala ‘Bu Prang’ serta kueh basah. Sambil menatap ombak yang menepi dari bawah rimbun pohon cemara, mereka lalu menyantap bu prang plus kopi pagi. Benar benar alami, tanpa balutan basa basi. Pemimpin dan rakyatnya lebur disertai joke joke ringan ala nelayan dan apa adanya.
Dari bincang bincang lepas itu, Iswanto mendengar suara hati rakyatnya sesuai warna asli. Mulai dari geliat ekonomi yang miris, hasil tangkapan yang lebih banyak alakadar, hingga kenaikan harga akibat inflasi yang membuat mereka makin terseok. Tentu saja ada harap yang mereka lontarkan kepada Pj Bupati Aceh Besar itu yang dengan sabar mendengar suara hati rakyatnya di pesisir Gampong Baro tersebut.
Bagi Iswanto, inilah suara hati rakyat yang sebenarnya, tanpa ada balutan kepentingan apapun. Tanpa ada retorika apalagi rekayasa. Karena mereka baru tahu sosok bupati mengunjungi mereka di pagi itu. Muncul begitu saja, tanpa ada pemberitahuan apa pun, termasuk dari Keuchik sekalipun. Dan Iswanto memang ingin melakukan itu bagai roda waktu yang berputar serta air yang mengalir. “Dari sini kita bisa mendengar suara hati rakyat yang sebenarnya, tanpa perlu menunggu di ruang berAC, yang mungkin saja rakyat pesisir ini malah sungkan untuk datang. Dengan adanya moment seperti ini, kebijakan yang kita lahirkan juga benar benar pro rakyat, karena memang dibutuhkan oleh rakyat,” kata Iswanto.
Bukan sekadar menyelami suara batin rakyat, Iswanto tanpa sungkan membuka sepatunya, lalu berjalan santai ke bibir ombak bergabung dengan nelayan untuk menarik pukat. Bang Wanto–demikian lelaki itu sering disapa–tak lupa menyangkutkan tali ikatan penarik pukat di pinggangnya. Lalu iapun larut dalam langkah ritmik penarik pukat yang bergantian ke depen sejenak di titik akhir di tepi pantai.

Dari atas boat pukat, Pawang telah memberi aba aba kepada para penarik pukat–termasuk Bang Wanto–tentunya, bak seorang dirijen orkestra yang berdiri di geladak atau anjungan terbuka bagian depan perahu pukat, untuk makin mempercepat tarikan. Dan, tarikan itu pun terasa makin ritmik karena berkejaran dengan ombak yang bisa saja membuat perahu pukat kandas.
Tarikan berakhir seiring terjunnya pawang dari anjungan pukat serta para penarik mengeluarkan ke daratan ‘kantong pukat’ sebagai tempat ikan terperangkap. Tampak ikan ikan kecil seperti teri basah hingga ‘ciriek’ dan jenara kecil menggeliat dari dalam kantong pukat seperti gemerlap mutiara. Mereka mengangkatnya ke bibir pantai agar bisa segera dimasukkan ke dalam raga. Pawang lalu membagi sesuai porsi untuk semua penarik pukat, termasuk Bang Wanto.
Bagi seorang Iswanto, ikan kecil yang dimasukkan ke dalam plastik sebagai hak atau jatahnya itu, bukan sekadar ikan. Itulah yang namanya buah dari kebersamaan dan kesetaraan jiwa dengan para nelayan yang tak ternilai oleh apapun. Insan di bibir pantai itu juga bangga, hari ini mereka menarik pukat dengan seorang Penjabat Bupati, satu hal yang bisa jadi tak pernah mereka mimpikan sekalipun. Matahari mulai redup karena awan mendung kala pukul 11.20 WIB saat Iswanto meninggalkan bibir pantai Pasie Gampong Baro. Lalu ikan ikan hasil tarik pukat itupun dibawa pulang oleh seorang Iswanto, sembari membawa pulang suara hati para rakyat jelata di bibir Pasie Kuala Baro. Momen yang juga bisa jadi tak terlupakan sepanjang hayat.