SUKA MAKMUE I ACEHHERALD.Com – Jalan Tripa Bawah membentang sepanjang sekitar 50 km sejak dari Simpang Lamie, Desa Lamie, Kecamatan Darul Makmur sampai Simpang Langkak, Desa Langkak/Kuala Tuha, Kecamatan Kuala Pesisir, Kabupaten Nagan Raya.
Akses jalan yang melintasi kawasan empat kecamatan (Darul Makmur, Tripa Makmur, Tadu Raya dan Kuala Pesisir) ini statusnya merupakan Jalan Negara atau Jalan Nasional sampai memasuki awal tahun 80-an.
Jalur ini merupakan satu-satunya akses dari dan ke wilayah Kabupaten Aceh Selatan (Blangpidie, Tapaktuan, Subulussalam dan Singkil).
Kini, wilayah tersebut menjadi wilayah Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya), Kota Subulussalam dan Aceh Singkil, selain Kabupaten Nagan Raya, pemekaran dari Kabupaten Aceh Barat pada tahun 2002.
Jalan Tripa Bawah, sempat luput dari perhatian pemerintah kurun waktu puluhan tahun atau sejak tahun 80-an. Pasalnya, akses Jalan Negara dipindahkan ke kawasan Gunung Trans, sehingga jalan tripa tertinggal di bawah, kemudian namanya berubah menjadi ‘Jalan Tripa Bawah’.
Jalur baru Gunung ini melintasi rangkaian pengunungan, sebelumnya merupakan jalan pelintasan alat berat angkutan kayu bulat (kayu balok) milik perusahaan Hak Pengusaha Hutan (HPH) PT Dina Maju.
Kawasan pegunungan ini menjadi sasaran lokasi penempatan warga Transmigrasi pada era pemerintahan Presiden Soeharto. Di kawasan pengunungan ini pula bermukim ribuan warga transmigrasi berasal dari Pulau Jawa, di bawah kendali sejumlah UPT (Unit Penempatan Transmigrasi) Departemen Transmigrasi, kala itu.
Setelah jalur baru itu beroperasi penuh sebagai akses jalan negara, kemudian terkenal dengan sebutan ‘Jalan Gunung Trans’ yang melekat hingga sekarang. Akses jalan baru ini sangat berliku sarat tikungan tajam, karena melintasi rangkaian pengunungan.
Beroperasi akses jalan gunung trans maka Jalan Tripa Bawah praktis ditinggalkan pengendara kendaraan angkutan umum, truk barang dan kendaraan pribadi. Jalur ini hanya menjadi jalur penghubung warga antardesa yang masih bertahan di kawasan pesisir tersebut, yang kemudian menjadi empat wilayah kecamatan.
Sampai memasuki tahun 2000, Jalan Tripa Bawah sama sekali tidak bisa dilalui kendaraan roda empat. Jembatan box ambruk di sejumlah lokasi, hanya diganti jembatan darurat dengan cara menempatkan empat potongan batang kelapa dan kayu.
Lebih parah lagi, lubang besar menghiasi sepanjang jalan, malahan badan jalan putus di beberapa titik akibat digerus erosi Krueng Tripa.
Belum lagi persoalan banjir kerap melanda dan mampu bertahan berhari-hari tidak surut, sehingga jalur ini benar—benar dilupakan.
Kawasan ini pun menjadi tertinggal akibat kesulitan transportasi darat, termasuk infrastruktur lain tidak mendapat perhatian, kalau tidak mau disebut tidak sama sekali.
Setelah terbentuk Kabupaten Nagan Raya, pemekaran dari Kabupaten Aceh Barat tahun 2002, wilayah Tripa Bawah mulai dibenahi secara pelan-pelan. Badan jalan yang rendah ditimbun dengan material batu, jembatan kayu diganti beton.
Sejak beberapa tahun terakhir Jalan Tripa Bawah sepanjang sekitar 50 Km berubah menjadi mulus setelah diaspal hotmix. Kawasan Tripa Bawah dulunya dikenal sebagai daerah penghasil buah pisang, kemudian berkembang menjadi daerah produksi tanaman coklat (kakao).
Sayangnya, tanaman kakao milik para petani diserang hama sangat mematikan. Lalu, di lahan bekas tanaman coklat, para petani megembangkan tanaman kelapa sawit rakyat secera besar-besaran sehingga Tripa Bawah berkembang menjadi salah satu sentra produksi kepala sawit di Kabupaten Nagan Raya.
Harga Tandan Buah Segar (TBS) yang sangat menjanjikan beberapa tahun terakhir berdampak terjadi perubahan sangat drastis terhadap perekonomian masyarakat setempat.
Rumah-rumah warga yang dulu kondisinya memprihatinkan berubah menjadi rumah permanen bertingkat, sejumlah diantaranya tampak mentereng untuk ukuran sebuah wilayah kabupaten.
Mobil pribadi beragam merek, beberapa diantaranya tergolong mobil mewah tampak diparkir di perkarangan rumah warga Tripa Bawah menjadi pemandangan sehari-hari.
Truk angkutan sarat muatan TBS sawit milik pedagang sawit setempat tampak lalu lalang dari produksi kelapa sawit pula banyak warga Tripa Bawah mampu menunaikan ibadah umrah dan tidak sedikit antri untuk menunaikan ibadah haji. Belum lagi putra-putri warga setempat mampu melanjutkan pendidikan sampai perguruan tinggi.
Singkatnya, di Tripa Bawah banyak bermunculan ‘orang kaya baru (OKB)’ dari hasil sawit. Tidaklah berlebihan sebagian besar masyarakat tripa bawah hidup makmur, sesuai dengan nama salah kecamatan di lintasan tersebut, yaitu ‘Kecamatan Tripa Makmur’.
Penulis: Zainun Yusuf (Nagan Raya)