Shalat Jumat di Rooftop Masjidil Haram, Panas Memanggang tak Jadi Penghalang

BAKDA subuh, Jumat (14/04/2023), saya sudah memasang tekad di dalam hati, “hari ini harus bisa shalat jumat di dalam Masjidil Haram, sembari menatap lekat dan erat ka’bah di depan mata. Ya….tempat yang seumur hidup menjadi kiblat shalat dari jarak belasan ribu kilometer. Kini semua terbentang di depan mata, dan kesempatan ini tak boleh dilepaskan,” saya … Read more

Jamaah Jumat (14/04/2023) di Masjidil Haram. Foto Zainun Yusuf.

Iklan Baris

Lensa Warga

BAKDA subuh, Jumat (14/04/2023), saya sudah memasang tekad di dalam hati, “hari ini harus bisa shalat jumat di dalam Masjidil Haram, sembari menatap lekat dan erat ka’bah di depan mata. Ya….tempat yang seumur hidup menjadi kiblat shalat dari jarak belasan ribu kilometer. Kini semua terbentang di depan mata, dan kesempatan ini tak boleh dilepaskan,” saya membathin di dalam hati.

Waktu kumandang azan Jumat adalah pukul 11.59 Waku Arab Saudi (WAS).

Saya keluar dari hotel atau maktab sekitar pukul 09.30 WAS, atau 150 menit dari jadwal azan. Saya pikir itu waktu yang pas, masih banyak kesempatan iktikaf di Masjidil Haram yang saya pastikan masih lengang. Masya Allah, ternyata anggapan saya salah besar. Justru saya termasuk orang orang ‘merugi’ karena datang terlambat. Jutaan orang ternyata bergerak lebih cepat berlomba dengan waktu WAS yang menurut saya bergulir begitu cepat melebihi laju mobil F1 sekalipun.

Sejenak usai shalat Jumat di Roof top Masjidil Haram. Foto Zainun Yusuf.

Masjidil Haram yang berkapasitas 2,5 juta jamaah, ternyata telah penuh sesak. Saya tertegun seakan menyesali prediksi saya yang tak presisi. Luar biasa, tak pernah saya menyaksikan kumpulan manusia sebanyak ini dalam sebuah kegiatan apa pun. Masjidil Haram dengan kapasitas 2,5 juta jamaah seperti tak mampu lagi menampung jamaah Jumat (14/4/2023) hari ini.

Pandangan saya menyapu lautan manusia yang memenuhi hingga sudut masjid sekalipun. Lantai dasar jangan kan untuk duduk, kaki saja payah dijejakkan. Saya melintasi tangga menuju lantai dua yang ternyata sama saja, sudah penuh sesak. Ratusan jamaah yang menbandel mencoba peruntungan dengan duduk di antara shaf, namun mereka akhirnya harus pindah ketika ditegur petugas yang bertindak secara terukur dan humanis. Serta jumlahnya mencapai seribuan orang, karena dibawahi oleh perwira tinggi selevel bintang dua.

Baca Juga:  Sukses Helat Program 10 Juta Bendera, Banda Aceh Raih Penghargaan dari Mendagri

Mau bergabung di lantai 3, nasibnya juga sama. Semua orang ingin mengail keistmewaan di Hari Jumat di lokasi teristimewa sejagad, Masjidil Haram.

Akhirnya, saya pun bergeser menuju lantai 4 atau lantai paling atas yang terbuka (Roof Top), setelah berjuang keras lepas dari padatnya jamaah di lantai dasar hingga 3. Betul betul butuh nyali dan spirit never surender.

Saya memilih naik ke Roof Top melalui escalator. Masya Allah! Di lantai yang baru dibangun ini, jamaah juga sudah mulai padat. Mereka rela duduk di bawah terik matahari di atas lantai granit.

Padahal shalat Jumat baru masuk sekitar pukul 11.59 WAS. Di sinilah dibuktikan kualitas granit Masjidil Haram yang lain dengan yang lain.

Roof top Masjidil Haram. Foto Zainun Yusuf.

Matahari memanggang nyaris tepat di atas kepala, namun granit Masjidil Haram terasa adem adem saja, hingga jamaah tetap betah di bawah panggangan terik matahari.

Hamparan luas lantai roof top hanya tersisa sedikit lagi. Saya pun langsung duduk bersandar dekat sebuah tiang, dengan tujuan  berlindung dikit dari sengatan matahari. Tampak di bawah sana, jamaah telah meluber keluar area masjid, hingga kawasan perhotelan dan jalan raya.

Saya benar benar menikmati dari sanubari yang dalam tentang detik detik perjalanan bathin meniti bentang waktu Jumat. Tanpa terasa, shalat Jumat sejenak khutbah itu telah selesai. Jamaah lalu mengemasi sajadah untuk keluar dari masjid.

Saya tak mau kehilangan moment sedikitpun. Usai Jumat yang sangat mengesankan itu, terus bertahan di rooftop hingga melaksanakan shalat ashar, magrib hingga tarawih. Saya merasakan kembali sensasi berbuka dari sumbangan para muhsinin yang memburu jamaah sampai ke lantai empat untuk diberikan menu bukaan.

Saya menjalani itu semua, kadang tanpa dapat menghalangi bulir bulir air mata yang mengalir dari pelupuk. Sepanjang jumat yang mengesankan, serta berganti hari sejenak memasuki waktu magrib. Allah telah memberikan segalanya kepada saya. Syukur ku padaMu ya Rab….atas semua limpahan rahmat dan karunia ini. (Zainun Yusuf)

Baca Juga:  Ratusan Rumah di Aceh Besar Porakporanda Diterjang Badai, Dinsos Koordinasi dengan Kemensos

 

 

Berita Terkini

Haba Nanggroe