BANDA ACEH | ACEHHERALD.COM – Terkait larangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan menggunakan atau memakai atau memakan produk dari Negara Israel. Akademisi Universitas Iskandar Muda (Unida), Dr. Tasmiati Emsa, SH. M.Si., angkat suara dengan hal tersebut.
Apalagi, Fatwa MUI itu, menyebabkan bingungnya ibu-ibu karena sejumlah produk yang dilarang tersebut memang selalu dikonsumsi atau dipakai atau juga menjadi produk pendukung kelengkapan rumah tangga.
“Ada ratusan produk yang selama ini kita beli dan mengonsumsinya, yang telah puluhan tahun masyarakat memakai produk tersebut,” sebut Mia sapaan akrabnya kepada awak media ini, Ahad (12/11/2023).
Ia mengungkapkan keresahan yang dirasakan saat ini terutama ibu-ibu, dalam melaksanakan pekerjaan sebagai Ibu Rumah Tangga notabene memakai produk-produk yang diharamkan/dilarang berdasarkan Fatwa MUI tersebut.
“Dalam ajaran agama Islam, kita mempunyai aturan yang jelas terkait halal/haram. Terdapat nilai-nilai esensial yang bersifat prinsipil dalam mengatur persoalan halal dan haram,” aku Dosen Fisipol Unida ini.
Ia pun mengatakan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, untuk kemashalatan manusia. Terkait hal-hal atau benda-benda, makanan-makanan yang dilarang, atau perbuatan-perbuatan yang diharamkan itu memang pada dasarnya perbuatan itu kalau tetap dilakukan akan membahayakan manusia itu sendiri. Karena itu dilarang.
Kedua, untuk menguji. Dalam menguji ketaqwaan manusia kepada perintah Allah SWT. Apakah dengan Allah menurunkan perintah dan larangan, manusia taat atau tidak. Siapa yang tidak beriman, siapa yang patuh dan tidak patuh.
Ia pun menambahkan bahwa ada 10 prinsip halal haram yang digunakan dalam memandang konsepsi halal yang terdapat dalam hukum Islam :
1. Hukum asal segala sesuatu adalah diperbolehkan,
2. Menetapkan halal haram semata-mata merupakan hak Allah,
3. Mengharamkan perkara halal dan menghalalkan perkara haram sama saja dengan menyekutukan Allah,
4. Mengharamkan perkara yang telah ditetapkan halal hanya akan menimbulkan keburukan dan kemadaratan,
5. Perkara yang halal tidak membutuhkan perkara yang haram,
6. Sesuatu yang mengantarkan kepada perkara haram, maka sesuatu itu adalah haram,
7. Menyiasati perkara haram hukumnya adalah haram,
8. Niat yang baik tidak dapat membebaskan perkara yang haram,
9. Tujuan menjauhi perkara syubhat adalah takut terjatuh pada perkara haram,
10. Perkara yang haram berlaku untuk semua orang.
Diungkapkannya bahwa didalam Al-Quran banyak referensi mengenai konteks halal/haram kurang lebih 30 ayat, ada di surat Al-Baqarah, surat Al-Maidah, dan masih banyak ayat-ayat lain yang berbicara tentang kehalalan sesuatu atau keharaman sesuatu tanpa menyebut kata halal/haram.
Masih dalam ajaran agama Islam, tambahnya lagi, segala sesuatu sudah dijelaskan dalam Al-Qur’an, begitu juga segala sesuatu nya sudah dijelaskan dalam hadis Nabi, sehingga tidak ada yang luput.
Kontekstualnya ketika turunnya ayat Al-Qur’an yang mengharamkan sesuatu itu kontekstual, umpamanya hal-hal yang dulu memang barang dan bendanya tidak ada. Rokok umpamanya.
“Rokok ‘kan zaman nabi tidak ada. Nah itu penafsiran kontekstualnya kita harus upayakan mencari ayat atau hadis yang kira-kira bisa membantu kita menentukan hukum rokok ini seperti apa. Bagaimana legitimasi yang menguatkan halal dan haram hal tertentu,” ujarnya lagi.
Secara material, boleh jadi ia halal. Namun bila ada sebab lain yang membawa sesuatu yang halal bisa menjadi haram. Contoh: tembakau dasar hukumnya halal, tapi karena dapat merusak kesehatan maka difatwakan haram.
Contoh sebaliknya (haram jadi halal), darah adalah najis, haram hukum memberikan darah kepada orang lain, namun “donor darah” karena manfaatnya yang besar, menjadi halal (kesepakatan ulama dunia).
Terkait berita Fatwa MUI haramkan beli produk pro Israel. Mendukung pihak yang diketahui mendukung Israel, baik langsung maupun tidak langsung, seperti membeli produk dari produsen yang secara nyata mendukung agresi Israel hukumnya haram.
Seperti diketahui, Israel selama ini menyiapkan persenjataan mereka dari hasil produk industri sendiri dan beberapa negara/perusahaan pendukung Israel, karena digunakan menzalimi kaum muslimin Palestina, maka orang yang membeli produk mereka dikategorikan ikut mendukung penindasan / pembunuhan muslim Palestina.
“Israel saat ini sudah masuk kategori “Genosida” sebagai perbuatan terlarang dalam Islam,” katanya lagi.
Ia pun menyebutkan, dalam mengeluarkan sebuah kebijakan haruslah berlandaskan filosofis, sosiologis dan yuridisnya serta kemudharatannya untuk publik. Sebaiknya adanya regulasi juga didukung dengan tindakan nyata dari larangan membeli produk pro Israel.
Menurutnya dukungan terhadap Perjuangan Palestina dilaksanakan secara holistik, integratif, dan berkualitas melalui koordinasi, sinergi, dan sinkronisasi di antara kementerian/lembaga, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, pemerintah desa, dan pemangku kepentingan.
Diperlukan upaya bersama mendukung penggalangan dana terhadap perjuangan Palestina yang melibatkan berbagai pihak :
1. Adanya Instruksi/Surat Edaran dari MPU Aceh, MPU Kab/Kota, seluruh Mesjid yang ada di Provinsi Aceh menggalang dana atau sumbangan tiap jumat sekian % akan disalurkan kepada Palestina.
2. Adanya MoU bersama untuk komitmen Pemerintah Kabupaten/kota, Pemerintah Desa untuk menyisihkan dana yang berasal dari alokasi dana APBA/APBK, selain itu juga pemanfaatan dana Pokir pada DPRA/DPRK, Bisa juga, sebutnya, dari dana alokasi gampong untuk perjuangan Palestina.
Kemudian:
3. Zakat Penghasilan 2.5 % dari PNS/ASN di Aceh yang dikelola oleh Baitul Mal atau BAZNAS daerah lain, sekian % akan disalurkan untuk perjuangan Palestina.
4. Dana CSR yang berasal dari, Bank-Bank, Pertamina, Gampong/Desa dan perusahaan lainnya.
5. Dana tanggap darurat pada SKPA/SKPK Prov. Aceh
6. Keterlibatan Perguruan Tinggi dan Prema, BEM dalam mengalang dana, seperti yang dilakukan mahasiswa dan mahasiswi Unida, beberapa hari ini.