Setelah tiba di Desa Belangian, Kecamatan Aranio, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Wartawan di bagi tiga, pertama wartawan dan wartawati media cetak dan online, lalu, videografer, dan terakhir fotografer. Pengelompokan ini dilakukan untuk jadwal masuk ke hutan.
Jadilah wartawan tulis masuk di kloter pertama. Dengan menumpang ojek. Masing-masing wartawan dan wartawati duduk di atas sepeda motor yang sudah berbaris di halaman masjid di Desa Belangian itu.
Dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Aceh yang ikut, yakni saya sendiri, lalu, Suryadi (Pemimpin Redaksi kabarbireuen.com). Sedangkan fotografer Almuzammil dari Waspada Aceh, untuk videografer Ichdar Ifan dari Aceh Selatan, sementara itu, reportase radio dari RRI Banda Aceh—Munzir Budiana.
Dari ratusan rombongan ada puluhan wartawan dan wartawati yang ikut lomba menulis dalam rangka Pekan Olahraga Wartawan Nasional (Porwanas) Kalsel Tahun 2024.
Kembali ke laptop. Awal perjalanan wartawan dan wartawati menerobos pedalaman Geopark Meratus, kami menumpang ojek yang merupakan warga setempat. Satu persatu berangkat dengan konvoi melewati jalanan setapak.
Warga Desa Belangian yang nyambi sebagai tukang ojek mengantar wisatawan ke Pedalaman Meratus. Foto dokumentasi Acehherald.com
Mulanya awak wartawan melihat kebun warga yang ditanami kacang tanah dan cabai rawit diantara selingan tanaman keras. Tak berapa lama, kemudian pepohonan di Hutan Lindung Kahung yang ditanami sebuah perusahaan dan hingga kini dijaga warga setempat.
Rombongan pun melintasi jembatan gantung yang terbuat dari kayu. Dulunya, kata supir ojek yang saya tumpangi, mereka harus menyeberangi sungai untuk ke kebun. Lalu, ada insiden seorang ibu dan anaknya yang hanyut dan meninggal. Dari kejadian itu lah, kemudian pemerintah membangunkan jembatan gantung.
“Ini jembatan yang kedua, dibangun tahun 2000 an lalu. Yang pertama telah lapuk di makan usia,” kata Bambang Susilo, Seksi Perlindungan Hutan di Tahura Sultan Adam Bukit Batu Dishut Provinsi Kalimantan Selatan.
Saat melintasi jembatan gantung yang lebarnya 1,5 meter dan panjang nya kurang lebih 20 meter, satu persatu wartawan dengan ojeknya lewat, sedangkan kendaraan lainnya antre di ujung jembatan.
Jembatan gantung di Desa Belangian, Kecamatan Aranio, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Foto dokumentasi Acehherald.com
Setelah beberapa menit dari jembatan gantung. Rombongan pun berhenti di pos pertama. Di sana terlihat Sungai Kahung mengalir sedang dengan bebatuan besar-besar di tengah dan dalam sungai. Sangat cocok ber arung jeram, kata Bambang lagi.
Bambang menjelaskan bahwa pos pertama ini, dinamai Menara Kembar. Karena di tepi sungai ada bangunan berlantai tinggi sebagai tempat pemantau atau hinap para polhut, jika bermalam disana. Ada beberapa bangunan rumah di lokasi tersebut.
“Di sini bisa untuk kemping. Dan wilayah ini masuk dalam Hutan Lindung Kahung,” ujarnya.
Di pos pertama ini, hutannya telah ditanami ribuan pohon yang disumbang oleh salah satu perusahaan tambang yang ada di Kalsel. Termasuk juga pihak kehutanan daerah ini, ikut memberikan pohon tanaman keras berbagai jenis.
Setelah menerangkan tentang Hutan Lindung Kahung. Rombongan wartawan dan wartawati tulis melanjutkan perjalanan ke titik dua. Sebelum mencapai lokasi, ada jalan mendaki yang curam. Beberapa sepeda motor tak kuat mendaki, sehingga penumpangnya harus turun dan jalan kaki.
Dalam perjalanan menuju pos dua, terlihat pepohonan yang ditanami berganti dengan batang pohon dengan diameter besar yang canopinya saja tidak terlihat dari tanah.
Kemudian, rombongan berhenti di pos dua. Selain berdecak kagum dan beberapa wartawan dan wartawati ternganga melihat besarnya pohon yang ditunjuk Bambang Susilo. “Luar biasa besarnya,” kata Ati Suprihatin, wartawati yang ikut dalam rombongan.
Penulis di depan Pohon Binuang Laki yang berusia 70 tahun dengan ketinggian 50 meter di Pedalaman Meratus, Kalimantan Selatan. Foto dokumentasi Acehherald.com
Bambang menyebutkan nama pohon ini adalah Binuang Laki. Ia pun mengatakan perbedaan antara pohon Binuang Laki dan Perempuan yang ada menjulur dua buah seperti akar di dasar pohon tersebut.
Ia mengungkapkan masih ada pohon lainnya yang lebih besar diameternya dari pohon Binuang Laki ini, namun letaknya lebih ke dalam lagi di hutan Pegunungan Meratus ini. Dan lagi membutuhkan waktu lebih lama untuk mencapai ke pedalaman lagi. Jadi lah pohon Binuang Laki ini yang diperlihatkan kepada rombongan jurnalis.
Selain itu, tak jauh dari Pohon Binuang Laki, ada seonggok batu berukuran sedang. Dikatakan Bambang bahwa batu itu bernyawa. Buktinya katanya, dulunya batu ini kecil dan sekarang sudah membesar, sebesar mobil fiat diibaratkannya.
Untuk meyakinkan para wartawan, Bambang menyebutkan bahwa saat pertama kali bertugas disana, bener baru itu masih berukuran kecil dan sekarang telah membesar.
Sambil Bambang menerangkan, para jurnalis berswafoto dengan pohon Binuang Laki. Selain mengabadikan pohon untuk dokumentasi media juga untuk keperluan pribadi.
Belum puas berswafoto dengan pohon Binuang Laki. Rombongan melanjutkan perjalanannya ke titik ketiga. Hawa semakin sejuk dan adem di pos kedua dan ketiga, ini menandakan kerapatan pohon yang canopinya tidak tembus sinar matahari lagi.
Wajar udara di bawah Pohong Binuang Laki yang dikatakan warga setempat, berusia sekitar 70 an tahun, dengan tinggi diperkirakan 50 meter, seolah memiliki AC alam. Bagi instragamable, pohon dengan diameter lebar seperti ini, sungguh bikin magnet tersendiri.
3 Geosite Desa Belangian di Geopark Meratus
Besarnya Pohon Binuang di Desa Belangian ini, termasuk salah satu Geosite Geopark Meratus Kalimantan Selatan dari 70 Geosite yang ada di Geopark Meratus ini. Besarnya diameter dan tingginya kanopi pohon tersebut, menjadi salah satu destinasi yang diminati wisatawan untuk edukasi penelitian ke tempat itu, kata Aspariani.
Seperti dikatakan mantan Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pok Darwis) Desa Belangian, Aspariani bahwa Pok Darwis berdiri tahun 2013, namun wisata disana sudah dikenal sejak tahun 70 an. Dimana wisatawan mengunjungi daerah setempat dikarenakan informasi tentang keanekaragaman hayati di Hutan Hujan Tropis yang begitu tinggi.
Makanya wisatawan mancanegara dari Amerika, Finlandia, Swedia, dan Jepang melakukan penelitian disana. Tentu saja, keingintahuan mereka cukup beralasan. Salah satunya dari Jepang yang meneliti tentang primata Owak-owak untuk membedakan antara jantan dan betinanya.
Melihat begitu antusiasnya wisatawan mengunjungi Hutan Hujan Tropis disana, kemudian Pok Darwis bersama perangkat desa sepakat membangun shelter yang berada di dekat sungai, namun setelahnya dipindah lebih ke atas, dan terakhir di bangun shelter hingga ke titik ketiga.
Selain itu, tak jauh dari pos ketiga, ada batu hitam. Batu Ampar namanya yang berusia jutaan tahun, kata Bambang. Dan usia batu ini sudah diteliti oleh peneliti. Letaknya berada di aliran alur yang mengalir di Pedalaman Pegunungan Meratus.
Dan bebatuan berwarna hitam ini, termasuk salah satu geosit yang ada di Desa Belangian. Letaknya yang tersembunyi, sehingga perhatian pelancong kurang tertuju ke batu tersebut. Belum lagi, akses jalannya ke Batu Ampar harus menuruni lereng gunung, meski tidak curam. Alhasil, kurang terperhatikan.
Liana atau akar pohon yang membelah dua di jalan menuju pos ketiga di Pedalaman Pegunungan Meratus. Foto dokumentasi Acehherald.com
Batu yang disebutkan Petugas di Tahura Sultan Adam Bukit Batu Dishut Provinsi Kalimantan Selatan, Bambang Susilo, bernyawa dan membesar. Ia berdiri di atas batu tersebut. Foto dokumentasi Acehherald.com.
Dikatakan Mantan Pok Darwis Desa Belangian, sebenarnya masih banyak destinasi lainnya yang ada di desa mereka, seperti arung jeram, pohon besar yang jumlahnya tidak sedikit, lalu ada satwa unggas yakni Burung Anggang, juga beruang, rusa, ular, dan juga primata jenis monyet dan Bekantan, termasuk Owa-owa.
Selain itu, ujar Asparani, ada air terjun berjumlah empat air terjun yang letaknya menyebar di sekitar Hutan Hujan Tropis di daerah ini. Salah satu air terjun dengan ketinggian 24 meter yang jaraknya empat jam pulang pergi dari titik ketiga.
Ia mengungkapkan pelancong ke Geopark Meratus di desanya, juga kerap didatangi para pendaki seperti Mapala yang ingin menorehkan nama di puncak gunung. Disana ada Gunung Puncak Kahung 1456 mdpl. Selebihnya ada lima lagi gunung yang belum terjamah manusia yang rata-rata ketinggiannya 1.000 mdpl.
Kembali ke perjalanan para jurnalis. Dalam perjalanan dari pos kedua dan ketiga, terlihat di kiri kanan pohon-pohon besar menjulang tinggi. Juga bebatuan berukuran besar dan sedang. Ada juga jamur berwarna putih seukuran tampah kecil yang menempel di batang kayu yang tumbang.
Suara aliran air mengalir terdengar dari kejauhan. Semilir suara angin mendesau ditingkahi beradunya dedaunan seolah musik tersendiri yang terdengar. Belum lagi, suara burung bersahutan dan serangga di hutan hujan tropis tersebut, seolah menyambut kami.
Sungai Kuhang yang mengalir hingga ke Waduk Riam Kanan. Foto dokumentasi Acehherald.com.
Awalnya seratusan wartawan dan wartawati dari berbagai lembaga PWI di Seluruh nusantara, tiba di titik pos ketiga. Waktu saat itu, menunjukkan sekira pukul 13.30 Wita, namun agak terasa gelap.
Di pos ketiga ini, jalanan shelter berakhir. Dimana dari desa ke pos tiga ini, jalannya diperkeras dengan paving. Dan kami pun berakhir perjalanannya sampai disitu. Bambang menerangkan, kalau hendak melihat air terjun yang ketinggiannya mencapai puluhan meter harus menempuh waktu empat jam perjalanan pulang pergi dari pos ketiga ke atas gunung lagi.
Lalu, untuk ke Muara Sungai Kahung, harus menempuh perjalanan sekitar 1, 76 kilometer lagi, agak ke bawah yang dinamakan Luwadibatu.
Di lokasi ini pun, para wartawan tak lupa mendokumendasikan pemandangan alam di sekitarnya. Dan waktu sudah menunjukkan pukul 14.00 Wita. Dari pihak Dishut mengisyaratkan untuk balik kanan, kembali ke desa.
Seratusan jurnalis, LO, para supir ojek wisata Geopark Meratus, Pengurus PWI Kalsel, dan para petugas Tahura Sultan Adam Bukit Batu Dishut Kalsel, ikutan kembali sampai titik pertama untuk menyambut kloter kedua para videografer. Sedangkan para wartawan dan wartawati dengan menumpang ojek, kembali ke Desa.
Bagaimana sejarah awal mula Desa Belangian yang katanya merupakan tempat pertemuan makhluk halus? Apakah warga setempat masih menyiapkan sesajen untuk orang hilang yang ngakunya meminta makanan? Nantikan lanjutan dari tulisan ketiga! Cekidot!!!