Pengantar Redaksi;
KAMIS hari ke-1 Bulan Juni bertepatan dengan hari libur nasional memperingati Hari Lahirnya Pancasila, komunitas Forum Pemimpin Redaksi (Forum Pemred), sebuah organisasi sayap dari Serikat Media Siber Indonesia (SMSI), kembali menghelat diskusi dalam bentuk FGD (focus grup diskusi) yang mengusung tema, ‘Siapa Aktor di Balik Revisi Qanun LKS’. Seperti biasa, lokasi FGD adalah di Kyriad Hotel, Simpang Limong, Banda Aceh.
Diskusi terbatas yang diikuti para Pemimpin Redaksi media siber serta juga disupport media mainstream itu semata mata untuk meluruskan persepsi tentang sengkarut Qanun Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang tiba tiba memunculkan isu revisi. Tak urung berseliweran pro dan kontra tentang wacana revisi Qanun LKS, yang tiba tiba mengapung ke permukaan karena terjadinya stagnasi layanan BSI secara nasional, akibat sistem digitalisasinya dikuasai kelompok hacker.
Forum diskusi ini mengundang pihak pihak yang dinilai sangat kompeten dengan LKS, karena mereka ikut membedah sekaligus melahirkan kajian akademiknya. Mereka adalah, dr Zaini Abdullah (Abu Doto) mantan Gubernur Aceh 2012-2017, Prof Sahrizal Abbas (Dewan Syariah Aceh), DR Hafas Furqani MEc yang ikut membidani kajian akademik LKS. Sementara pengendali diskusi atau moderator adalah Dosi Elfian SHI yang juga Ketua Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI).
Keempat nara sumber itu mengemukakan banyak hal yang mencerahkan dalam penyampaian yang mereka paparkan di depan forum. Intinya, kehendak revisi hanyalah karena ketidaktahuan esensi dari LKS itu sendiri. Berikut kami sajikan penyampaian itu dalam beberapa edisi. Silakan menyimak.
***
PAKAR Ekonomi Syariah yang juga Ketua Dewan Pengawas Syariah (DPS), Profesor Syahrizal Abbas MA menyebut, kisruh maraknya pro dan kontra Layanan Keuangan Syariah (LKS) di Aceh bukan hanya dilihat dari sisi esensi rasionalitas dan materialitas semata, namun ada dimensi teologis manusia yang perlu dilihat di dalamnya. “Ingat, Aceh sangat kental dengan syariat Islam dan telah meninggalkan praktek non syariah,” tegas Syahrizal, salah seorang pemateri FGD Forum Pemred SMSI, Kamis(01/06/2023).
Mantan Kadis SI Aceh yang ikut membidani LKS itu dalam nada filosofis mengimbau, agar jangan berpikir manusia hanya makhluk manusia semata, tapi manusia adalah makhluk teologis.
Menurut Syahrizal, siapapun harus konsisten dengan konsep muamalah yang sesuai dengan tuntunan rasul karena ada garansi dari Allah hingga sifatnya absolut. Di luar itu hanya ada garansi dari manusia sebagai produk budaya. Karena itu, jika pun ada wacana revisi seperti qanun LKS, maka harus tetap berada dari koridor garansi Allah, bukan malah mencampuradukkan dengan produk manusiawi yang justru bertentangan dengan ketentuan Allah.
Qanun LKS nomor 11 tahun 2018 itu mulai dipersiapkan sejak tahun 2016, dan memiliki naskah akademis yang disiapkan oleh sosok sosok yang ahli dan kompeten di bidangnya. “Saat itu Gubernurnya Doto Zaini Abdullah, dan saya diberi amanah sebagai kepala Dinas Syariat Islam di Provinsi Aceh,” tutur Syahrizal yang mengasuh beberapa mata kuliah di Aceh hingga luar Aceh. “Naskah akademiknya sudah dimulai sejak tahun 2016, jadi tidak tiba-tiba hadir begitu saja pada tahun 2018. Tahun 2016 sudah ada draft rancangan qanun naskah akademik dan naskah akademik itu adalah hasil riset serta hasil penelitian yang dilakukan oleh Dinas Syariat Islam Aceh bekerjasama dengan perguruan tinggi dalam hal ini UIN Ar-Ranirry,” tandasnya.
Maka sangat tidak tepat ketika ada sekelompok orang yang mengklaim seolah-olah Qanun LKS itu ada prosesedur pembentukan qanun yang dilanggar ataupun diloncati. Padahal jelas ada naskah akademiknya. Substansinya adalah pelaksanaan ekonomi syariah secara makro sesuai dengan amanah UU Pemerintah Aceh Nomor 11 tahun 2006. “Di situ disebutkan secara jelas LKS yang beroperasi di Aceh, tak sedikitpun disebutkan larangan bank konvensional beroperasi di Aceh. Memang ada disebutkan, akad yang berlaku di Aceh harus sesuai prinsp syariah. Itu saja!” tandas Syahrizal.
Disamping itu, subtansi dari qanun LKS itu sebetulnya hanya dua saja, pertama bahwa Aceh diberi kewenangan untuk melaksanakan syariat islam dalam seluruh aspek kehidupan, bukan hanya dilihat dari aspek ibadah dan jinayah. Tetapi juga aspek muamalah dalam konteks itu Lembaga Keuangan Syariah.

Amanah UUPA No 11 tahun 2006, kemudian diturunkan dalam qanun pokok-pokok syariat islam. Didalamnya disebutkan lembaga keuangan yang beroperasi di Aceh adalah keuangan syariah. Turunan dari itu semua adalah Lembaga Keuangan Syariah (LKS), jadi jika kita lihat hirarkinya ada Undang-undang Pemerintahan Aceh, di bawahnya ada Qanun Pokok-pokok syariat islam, di bawahnya lagi itulah lembaga keuangan syariah. “Jadi subtansi pertama adalah bahwa menghadirkan lembaga keuangan syariah sebagai instrumen yang mengajak dan mendesign perilaku muamalah masyarakat Aceh sejalan dengan prinsip Syariah, itu filosofi yang paling mendasar,” sebutnya.
Lalu pada subtansi kedua yang dituangkan dalam qanun ini, ketika Aceh menjadi wilayah yang menjalankan syariat islam, termasuk aspek ibadah karena amanah undang-undang, dan qanun ini memiliki kewenangan yang menetapkan lembaga keuangan di Aceh adalah Lembaga Keuangan Syariah. “Pada teks norma dalam qanun itu, tak disebut bahwa keuangan konvensional tidak boleh beroperasi di Aceh, yang jelas tidak ada nomenklatur secara eksplisit yang melarang bank konvensional ke Aceh. Tidak ada!”
Cuma bisa saja difahami oleh pelaku perbankan atau bankir, maupun pemegang saham bank konvensional. Kalau sudah dinyatakan yang berlaku di Aceh adalah prinsip syariah, maka lembaga keuangan yang non syariah secara kebalikannya, diartikan tidak ada ruang bagi konvensional. “Itu jelas jelas tafsiran atau interpretatif,” terang Syahrizal.
Namun demikian, jika tetap saja ada yang minta revisi LKS, bisa saja, karena ini sifatnya bukan absolut. Tapi perlu kehati hatian, karena status Aceh sebagai negeri syariah. Karenanya, jika pun ada revisi, adalah untuk memperkuat Qanun LKS yang ada. Bukan malah secara beramai ramai bak suara koor dalam misa, ‘menyanyikan undangan’ agar Bank Konven kembali ke Aceh. Seperti kata Prof Syharizal, mereka tak pernah di usir, kok tiba tiba disuruh kembali!! Ibarat permainan jailangkung, datang tak diundang, pulang juga tak disuruh.
Penulis : Andika Ichsan/Banda Aceh