Amal Hasan: Jangan Kambinghitamkan Qanun LKS Terkait Stagnasi Ekonomi Aceh

BANDA ACEH I ACEHHERALD – Pengamat dan pelaku ekonomi Aceh diingatkan untuk tidak mengkambinghitamkan Qanun Lembaga Keuangan Syariah (LKS) terkait dengan stagnasi ekonomi Aceh. Karena kemacetan pertumbuhan ekonomi Aceh justru terjadi jauh sebelum lahirnya Qanun LKS di tahun 2018. “Saya kira terlalu berlebihan bila pengamat ekonomi menimpakan semua persoalan ekonomi kepada Qanun LKS. Seakan-akan qanun … Read more

Iklan Baris

Lensa Warga

BANDA ACEH I ACEHHERALD – Pengamat dan pelaku ekonomi Aceh diingatkan untuk tidak mengkambinghitamkan Qanun Lembaga Keuangan Syariah (LKS) terkait dengan stagnasi ekonomi Aceh. Karena kemacetan pertumbuhan ekonomi Aceh justru terjadi jauh sebelum lahirnya Qanun LKS di tahun 2018.  “Saya kira terlalu berlebihan bila pengamat ekonomi menimpakan semua persoalan ekonomi kepada Qanun LKS. Seakan-akan qanun tersebut yang menyebabkan Aceh terpuruk. Padahal masalah tak kunjung bangkitnya ekonomi Aceh sudah menjadi persoalan serius jauh sebelum qanun tersebut lahir.”

Hal itu diungkapkan, seorang mantan praktisi perbankan yang juga mantan Direktur Dana dan Jasa, Bank Aceh Syariah (BAS), Amal Hasan SE MSi, kepada acehherald.com, Senin (19/06/2023).

Menurut Amal, sebagian pengamat ekonomi tidak bersikap adil terhadap Qanun LKS. Meskipun data yang disajikan merupakan statistik resmi yang diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS), tapi masih ada hal yang tidak disampaikan ke publik, mengapa ekonomi Aceh tumbuh tidak mengembirakan selama ini. Karena stagnasi itu dipicu oleh banyak handicap, antara lain, tingginya angka kemiskinan, minimnya permodalan, serta tingginya akumulasi pengangguran.

Seperti diungkapkan juga kepada komparatif.id, masalah utama dari stagnannya pertumbuhan ekonomi Aceh, karena daerah paling ujung Sumatera itu hanya memiliki satu sumber utama keuangan, yaitu anggaran pemerintah, yang merupakan transfer dari Pemerintah Pusat. Sementara persentase anggaran itu justru lebih besar untuk operasional pemerintah itu sendiri, yaitu gaji dan hal-hal lain yang berkaitan dengan administrasi.

Anggaran pemerintah yang berbentuk belanja langsung, meski diperuntukkan untuk rakyat, tapi lebih dari 60 persen dibelanjakan ke luar daerah. Minimal dihabiskan ke Sumatera Utara. Mayoritas untuk belanja kebutuhan material pembangunan fisik seperti besi, semen, makanan pokok, dan sandang. “Dana sisa [belanja langsung] tidak melahirkan multiplier effect di Aceh. Bila dana itu bergulir di tempat kita, akan terjadi multiplier effect sampai enam kali. Tapi karena hanya singgah saja, maka dampak ganda ekonomi didapatkan oleh propinsi tetangga, Sumut,” terang Amal Hasan.

Baca Juga:  Tiga Tahun Telah Berlalu, Wartawan Ini Pertanyakan Kasus Pembakaran Rumahnya yang tak Berujung

Sementara itu Aceh tidak memiliki industri hilir. Sumber daya alam yang ada di Serambi Mekkah hampir seluruhnya merupakan bahan baku yang dibawa keluar untuk diproduksi menjadi berbagai macam barang setengah jadi dan barang jadi. Barang-barang itu sebagian dijual kembali ke Aceh, dan sebagian lagi dijual ke daerah lain. Bahkan ke luar negeri.

Di sisi lain, bilapun ada usaha-usaha seperti peternakan ayam pedaging, mayoritas orang Aceh merupakan mitra yang selalu mendapatkan keuntungan paling kecil. Meski harus menyediakan tanah dan kandang sendiri, tapi sistem bagi hasil dengan perusahaan pemilik bisnis ayam pedaging tidak fair. Keuntungan untuk “buruh ternak” sangat tidak ideal.

Pada sisi lain, Amal menambahkan, Aceh memiliki Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Sabang, tapi tidak memberikan dampak positif untuk Aceh. Meskipun usianya sudah 20 tahun lebih, tapi belum juga mampu menjadi pusat pertumbuhan ekonomi di Aceh.Terlalu banyak peraturan pemerintah yang membuat Pelabuhan Bebas Sabang sekadar ada di dalam dokumen, tapi nyaris tak memiliki aktivitas ekonomi.

Menurut Amal Hasan, fakta-fakta tersebut tidak menjadi bahan pertimbangan para pengamat ekonomi di Aceh dalam menyusun bahan kajian mereka. Sandaran para pengamat ekonomi hanya sebatas angka statistik yang diterbitkan BPS. “Kalau pengamat ekonomi sekadar menghitung berdasarkan data statistik [BPS] maka tidak akan terlihat apa penyebab yang sebenarnya sehingga ekonomi Aceh tak maju. Apakah pertumbuhan ekonomi Aceh yang lemah akibat lahirnya Qanun LKS? Bukan! Dari dulu masalah kita sama, miskin, minim investasi, tidak ada industri hilir, yang menyebabkan tingginya angka pengangguran,” sebut Amal Hasan.

Amal juga mengkritisi pendapat pengamat ekonomi perihal perbankan syariah yang diklaim tidak mampu menyediakan modal kerja untuk masyarakat. Menurut Amal Hasan, perbankan jenis apa pun, tidak serta merta dapat memberikan bantuan modal usaha. Ada syarat-syarat yang harus dipenuhi supaya perbankan dapat memenuhi keinginan pengaju modal usaha.

Baca Juga:  Belasan Warga Aceh Timur Tumbang Terpapar Limbah Medco

Masalahnya, di Aceh, meski jumlah UMKM mencapai 38 ribu, tapi tidak ada cluster-isasi Bahkan tidak ada data valid tentang UMKM tersebut. Pemberdayaan UMKM selama ini sekadar berorientasi pada program pemerintah, tidak berdasarkan kebutuhan pasar. “Harusnya ada pembinaan serius. UMKM harus dikelompokkan dalam tiga jenis. Hyper mikro, menengah, dan yang sudah bankable. Sekarang ini, baru ada ide sudah mengajukan permohonan pembiayaan kepada perbankan. Bank mana yang akan bersedia membiayainya? Tidak ada. Akhirnya, karena ditolak, marah-marah kepada bank. Bank mana yang berani ambil risiko membiayai usaha yang baru dibentuk? Bank mana yang berani membiaya usaha yang belum berjalan dengan baik? Bank apa yang akan membiayai usaha yang bisninya tidak punya prospek cemerlang? Bank itu mengelola dana masyarakat, bukan mengelola dana hibah,” terang Amal Hasan.

Ia juga mengambil contoh lain. Bahwa kemiskinan di Aceh masih terlihat sangat banyak karena data utama yang digunakan yaitu jumlah penerima Program Keluarga Harapan (PKH). Berapa banyak di antara mereka yang sebenarnya tidak masuk kategori miskin, tapi mendapatkan bantuan PKH? Seperti apa pendataan awal calon penerima PKH di Aceh yang berjumlah 203.806 orang? Apakah datanya sudah di-screening ulang?

 

Berita Terkini

Haba Nanggroe