
ACEHHERALD.com – Dai sekaligus ustad DR Mursalin Basyah MA, mengingatkan pemerintah harus membuat standar yang jelas soal klaim radikal dan pemahaman yang disebut ekstrem. “Jika hal ini tak dilakukan secara tuntas, justru akan membuat isu radikal dan ekstrem semakin liar. Bahkan berpotensi memunculkan hal hal yang justru tak diinginkan,” ujar Mursalin, saat mengisi pengajian rutin Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI), Selasa (5/11/2019), di Rumoh Aceh Kupi Luwak.
Menurut Mursalin, salah seorang dai terdepan di Aceh saat ini, penggunaan Istilah radikal itu sendiri sudah menyalahi dari makna yang sebenarnya. Padahal makna radikal yang sebenarnya sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tak terkait sedikitpun dengan agama, namun terkait dengan politik..
Bahkan forum PBB di Newyork telah mengingatkan pemerintah Indonesia untuk berhati hati menggunakan kata radikal, karena bisa merusak reputasi sejarah beberapa negara lain. Karena radikal di situ adalah perubahan secara drastis hingga ke akar akarnya, seperti revolusi Perancis. Radikal di sini terkait erat dengan politik, dan tak ada hubungan dengan agama.
Peringatan oleh PBB itu terjadi tahun 2018, ketika BNPT mempresentasikan penanganan potnsi terror dan radikalisme di Indonesia. “Sejak itulah pemerintah bingung, hingga muncul istilah baru yang jauh lebih kacau tak karuan, yaitu manipulator agama,” tandas Mursalin yang dalam kesempatan itu didampingi oleh Ustad Ahyar, selaku moderator.
Sejarah membuktikan jika Proklamator Soekarno yang menggagas radikalisme di Indonesia, dalam hal ini membangun secara menyeluruh serta memutuskan untuk membunuh kapitalisme.
Mursalin menambahkan, jika mengacu dengan makna yang sebenarnya, justru radikal itu positif, bahkan pemahaman agama sendiri harus radikal. Artinya pahami agama hingga ke akar akarnya, bukan malah radikal dikonotasikan dengan bentuk potensi terror dan anarkisme lainnya, karena memang tak ada kaitan dengan itu. “Karena itu, Allah berfirman, wahai manusia, masuklah engkau ke dalam islam secara kaffah atau hingga ke akar akarnya. Seharusnya itulah makna radikal sebenarnya,” ulas Mursalin dalam pengajian awak media yang juga diikuti kalangan, santri, mahasiswa dan umum itu.
Mursalin secara terbuka menduga jika isu radikalisme yang sudah bias itu sebagai pesanan pihak tertentu, terutama setting global pihak yang menganut islamophobia. “Setttingnya adalah membumikan pemahaman radikal itu menurut pesanan kelompok tertentu. Tapi masyarakat mulai sadar apa yang terjadi sebenarnya.”
Ditambahkan Mursalin, akibat tak ada indikator yang jelas dan baku soal radikal dan paham esktrem itu, maka diterjemahkan menurut kehendak dan kebiasaan seseorang dalam beragama. Misalnya wanita yang memakai pakaian terbuka akan mengatakan wanita berpakaian tertutup sebagai radikal atau ekstrem.
Mursalin menawarkan beberapa solusi soal pelurusan pemahaman tentang radikal dan ekstrem itu, dengan mengajak semua unsur tokoh masyarakat terutama kalangan agamis serta tokoh bangsa dan nasionalis, untuk berpikir dan membuat standar baku tntan radikal dan ekstrem.
Selain itu juga bisa merujuk pada barisan ahlussunnah wal jamaah pimpinan Abul Hasan al Asyari. “Ini pemahamn yang paling netral untuk persatukan umat yang ditulis dalam kitab Abul Hasan al Asyari. Pokoknya, istilah radikalisme, serta indikator pemahaman ekstern harus jelas. Kalau tak jelas maka makin membuah kacau saja.”
Pada sesi diskusi, Mursalin mengungkap beberapa fakta tentang upaya asing melalui media yang memojokkan Islam secara terang terangan. Dan itu terungkap melalui beberapa berita dalam dan luar negeri yang secara terang terangan memojokkan Islam.
Wirzaini Usman, salah seorang peserta pengajian saat sesi tanya jawab mengusulkan agar berbagai pihak di Aceh duduk untuk meluruskan klaim radikal dan ekstrem tersebut. Jika nantinya sudah ada ketentuan baku, rakyat juga tak ragu untuk bersikap dalam isu radikalisme dan ekstrem tersebut.
Penulis/editor ; Nurdinsyam