Lakon Memalukan Dari Altar Politik dan Demokrasi Yang Kebablasan

KISRUH pasangan pejabat politik di negeri ini bagai tak habis habisnya. Betapa tidak, gesekan itu dirumorskan mulai di level Presiden dan Wapres, Gubernur dan Wagub hingga Bupati/Walikota dan wakil wakilnya. Mungkin inilah produk orde reformasi, dimana politik dan demokrasi menjadi panglima. Sementara di era orde baru, hal itu nyaris tak pernah terdengar, padahal kala itu … Read more

Iklan Baris

Lensa Warga

ilustrasi

KISRUH pasangan pejabat politik di negeri ini bagai tak habis habisnya. Betapa tidak, gesekan itu dirumorskan mulai di level Presiden dan Wapres, Gubernur dan Wagub hingga Bupati/Walikota dan wakil wakilnya.  Mungkin inilah produk orde reformasi, dimana politik dan demokrasi menjadi panglima. Sementara di era orde baru, hal itu nyaris tak pernah terdengar, padahal kala itu sudah ada wakil di level presiden dan gubernur. Semuanya berjalan aman aman saja, jangan kan sampai ancam bunuh, berkata kasar saja pun tidak. Semua sepertinya mengerti betul dengan posisi dan fungsi masing-masing.

Harus diakui juga, pola rekrutan kepala daerah saat ini jauh berbeda dengan pola Orde Baru yang sentralistik, namun hasilnya adalah figur figur mumpuni di bidang pemerintahan, karena kandidat kepala daerah waktu itu adalah orang orang senior dalam birokrasi itu sendiri. Walhasil dari sisi kapabelitas dan akuntabilitas sangat teruji. Mereka benar benar memiliki ‘mah’ sebagai sosok kepala daerah, karena praktisi pemerintahan senior.

Sementara dalam sistem kenegaraan saat ini yang mendewakan demokrasi, maka nilai finansial yang justru menjadi tolak ukur sukses atau ambruknya seorang calon. Dengan fenomena tersebut maka yang jadi tolok ukur adalah popularitas serta balutan finansial yang ketat. Soal mumpuni atau tidak, masyarakat tak mau tahu, mereka hanya perlu mengenal calon, dan tidak ada urusan dengan yang namanya, kapabel, akuntabel, serta kredibel sebagai syarat normative seorang calon.

Pendewaan politik dan demokrasi itu terasa makin parah ketika muncul istilah pasangan calon kepala daerah saat pencalonan. Walhasil terjadi kolaborasi untuk meraup suara hingga share modal untuk sebuah proses demokrasi. Tak jarang, figur wakil dipilih dari kalangan yang sangat populis, mulai dari artis hingga ulama kharismatik. Figur kandidat kepala daerah punya hitungan matematik yang kuat atas wakil yang ia pilih, terutama dari sisi elektabilitas atau daya voter.

Baca Juga:  Pj Bupati Muhammad Iswanto Terima Silaturahmi Bup/Wabup Terpilih Aceh Besar

Kandidat wakil yang menyadari dirinya dimanfaatkan untuk menggenjot voter lalu membuat kesepakatan tertulis dengan sangan calon kepala daerah, tentang ‘bagi bagi’ tugas dan fungsi kelak saat terpilih. Dan itu tak jarang dilakukan di depan notaris. Namun apa lacur, saat pesta telah usai, sang kepala daerah mulai mbalelo, karena ia sadar sesadarnya, jika janji itu hanya pepesan kosong dan tak punya kekuatan hukum dalam tatanan pemerintahan.

Sebab, tugas dan wewenang bupati sudah ada dalam UU No. 10 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU No. 1 tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti UU No. 14 tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota. Dari penelusuran acehherald.com sendiri, tak ada pembagian tugas Bupati/wali kota dengan wakil nya, terutama dalam hal mengayomi satuan kerja perangkat daerah (SKPK) atau lebih lugasnya bagi bagi SKPK. Dan inilah yang sempat diaktenotariskan oleh beberapa pasangan kepala daerah, sebelum berlaga di pesta politik. Dan terasa wajar jika kemudian terjadi perang dingin antara kepala daerah dan wakilnya, sepanjang masa pemerintahan.

Dalam penelusuran acehherald.com, beberapa sengketa kepala daerah dengan wakilnya antara lain Bupati Simeulu dan wakilnya, Erli Hasyim dengan Hj Afridawati, yang sempat terjadi prang mulut. Selain itu juga sempat mengemuka antara Bupati dan Wakil Bupati Aceh Besar, Ir Mawardi Ali dan Tgk Husaini A Wahab yang kini rukun kembali, setelah sempat turun tangan Plt Gubernur Aceh Nova Iriansyah.

Di luar Aceh, terjadi di Pemkab Toli Toli antara Bupati Muhammad Saleh Bantilan dengan wakilnya Abdurrahman, keduanya main maki di depan umum, hingga memancing kemarahan Mendagri saat itu, Cahyo Kumolo. Juga ada perseteruan terbuka antara Bupati dan Wabub Kota Baru Kalsel, Saed Jafar dan Burhanuddin yang juga sampai ke Mendagri,  Sementara di Jawa, terjadi perang terbuka antara Bupati Sragen Agus Faturahman dengan Wakilnya Daryanto,

Baca Juga:  Rampas HP Milik Petugas Koperasi, Dua Pemuda Diringkus Polisi

Terakhir, ini yang paling hangat dan menjadi trending topik di Aceh saat itu, ketika terjadi perang terbuka bahkan dengan bumbu ancam bunuh dari Firdaus (Wabup Aceh Tengah) terhadap Bupati Shabela Abubakar. Terakhir terungkap jika perseteruan panas ala  lima itu terkait proyek Rp 17 miliar. Yang membuat miris, keributan itu justru terjadi saat saat warga Aceh Tengah sedang tertimpa musibah banjir bandang. Namun apa daya, bisa jadi Firdaus juga merasa telah tiba saatnya untuk ‘bersuara’, setelah lama menahan diri.

Memang tak semua pasangan Kepala Daerah terutama level kabupaten/kota di Aceh yang runcing komunikasinya. Sebut saja Bupati dan Wabup Pidie Jaya, Aiyub Abbas dan Said Mulyadi yang kini telah menjalani period eke dua, serta pasangan Aminullah Usman dengan Zainal Arifin di Pemko Banda Aceh yang adem adem saja. Namun fenomena dominan dari buruknya hubungan pasangan kepala daerah, memang tak bisa disembunyikan.

Atas dasar kondisi tersebut, Mendagri Cahyo Kumolo sempat mewacanakan untuk menghilangkan status wakil kepala daerah di kabupaten/kota, dengan menghilangkan status paket calon. Artinya, calon yang ada hanya kepala daerah. Entah kapan wacana ini dijalankan, jika tidak tontonlah terus drama memalukan di altar politik dan demokrasi yang menjurus kebablasan.

Penulis : Nurdinsyam

Berita Terkini

Haba Nanggroe