Saiful Bahri Resmi Pimpin DPR Aceh

BANDA ACEH | ACEH HERALD.com– Politisi Partai Aceh, Saiful Bahri alias Pon Yahya resmi memimpin Dewan Perwakilan Rakyat Aceh sisa masa jabatan 2019-2024. Pengukuhannya dilakukan di Gedung DPRA, Jumat (13/5/2022) oleh Ketua Pengadilan Tinggi Aceh, Gusrizal. Saiful Bahri menggantikan Dahlan Jamaluddin, politisi Partai Aceh kelahiran Ulee Glee Kabupaten Pidie Jaya yang ditarik Partai Aceh sebagai … Read more

Iklan Baris

Lensa Warga

Politisi Partai Aceh, Saiful Bahri dikukuhkan dan sekaligus diambil sumpah oleh Ketua Pengadilan Tinggi Aceh, Gusrizal dalam rapat paripurna DPRA yang dipimpin Safaruddin, Jumat (13/4/2022)
BANDA ACEH | ACEH HERALD.com–
Politisi Partai Aceh, Saiful Bahri alias Pon Yahya resmi memimpin Dewan Perwakilan Rakyat Aceh sisa masa jabatan 2019-2024. Pengukuhannya dilakukan  di Gedung DPRA, Jumat (13/5/2022) oleh Ketua Pengadilan Tinggi Aceh, Gusrizal.
Saiful Bahri menggantikan Dahlan Jamaluddin, politisi Partai Aceh kelahiran Ulee Glee Kabupaten Pidie Jaya yang ditarik Partai Aceh sebagai Ketua DPRA.
Wakil Ketua DPR Aceh, Safaruddin menyampaikan sejumlah persoalan yang saat ini masih menjadi persoalan serius bagi Tanah Rencong, termasuk di antaranya menyangkut akan berkurangnya penerimaan dana otsus mulai tahun 2023 mendatang, peredaran narkoba, kekerasan seksual, hingga kemiskinan, dan ekonomi.
Hal itu disampaikan politisi Partai Gerindra, Safaruddin saat memimpin rapat paripurna pengukuhan dan pelantikan Saiful Bahri alias Pon Yaya sebagai Ketua DPRA sisa masa jabatan 2019-2024 di Gedung DPRA, Jumat (13/5/2022).
Di penghujung rapat paripurna tersebut, Safaruddin yang saat itu masih berstatus sebagai Plt Ketua DPRA, menyampaikan beberapa catatan penting kepada Ketua DPRA yang baru, Pon Yahya.
“Kami mengharapkan agar komunikasi politik antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah terus ditingkatkan demi kemajuan dan kesejahteraan rakyat Aceh yang kita cintai,” ujar Safaruddin.
Safaruddin juga mengingatkan Pon Yaya bahwa ke depan DPRA secara kelembagaan dihadapkan oleh beberapa tugas yang perlu disikapi dengan serius. Di antaranya mengenai rencana perubahan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang sampai saat ini sudah masuk dalam Prolegnas DPR RI.
“Kita mengharapkan bahwa revisi UUPA dapat mengakomodir seluruh butir-butir dari MoU Helsinki. Kepada DPR Aceh sebagai lembaga representatif rakyat Aceh mampu memberi kontribusi yang konkrit terhadap dinamika tersebut,” ujar Safaruddin.
Menurutnya, konsekuensi dari rencana perubahan UUPA sangatlah luas, salah satunya terkait dengan dana otonomi khusus (otsus) Aceh yang sebentar lagi akan berkurang.
Hal ini, terang Safaruddin, sebagaimana yang diamanatkan dalam pasal 183 ayat (2) yang menyebutkan bahwa dana otonomi khusus berlaku untuk jangka waktu 20 tahun.
Untuk tahun pertama sampai dengan tahun ke 15 yang besarnya setara dengan 2% plafon dana alokasi umum nasional, dan untuk tahun ke 16 sampai tahun ke 20 yang besarnya setara dengan 1% plafon dana alokasi umum nasional.
“Kita sangat mengharapkan besaran dana otsus sebesar 2% dalam perubahan UUPA nantinya tetap dipertahankan, di samping pasal-pasal lain dalam UUPA yang perlu penguatan dan penyempurnaan,” ucap Safaruddin.
Perihal lain yang tak kalah penting untuk dicatat bersama mengenai kondisi kehidupan masyarakat, mulai dari kriminalitas, penyalahgunaan dan peredaran narkoba serta kekerasan seksual.
“Aceh merupakan nanggroe yang menjalankan syariat Islam dan kekhususan-kekhususan lainnya. Sungguh sangat miris dan menyayat hati kita semua, dimana kasus-kasus penyalahgunaan dan peredaran narkoba serta kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak-anak terus terjadi,” ujar Safaruddin.
“Kondisi ini menjadi tanggungjawab kita semua, baik eksekutif, legislatif, yudikatif dan seluruh elemen masyarakat untuk bersama-sama menyatakan perang terhadap narkoba dan kekerasan seksual,” tegas Safaruddin.
Dari sisi lain, Aceh juga dihadapkan pada persoalan kesehatan, isu stunting masih menjadi kekhawatiran semua. Ia mengajak semua pihak untuk memberikan perhatian lebih serius terhadap permasalahan ini.
“Salah satu solusinya adalah mempertahankan keberlangsungan program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA), dan program pemerintah lainnya yang berorientasi kepada upaya peningkatan kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan,” ujarnya lagi.
Kemudian permasalahan lain yang tidak kalah penting, menurut Safaruddin, terkait dengan kualitas pendidikan Aceh dimana masih di bawah rata-rata pendidikan nasional.
Padahal pendidikan merupakan hak dasar warga negara sebagaimana diamanahkan oleh undang-undang, demikian juga dana otsus selama ini dialokasikan untuk menanggulangi masalah tersebut cukup besar (minimal 20%).
Selain hak dasar kesehatan dan pendidikan, lanjut Safaruddin, isu kemiskinan juga menjadi cambuk bagi Aceh. Terlepas dari parameter yang digunakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), kata Safaruddin, namun hal ini perlu menjadi bahan introspeksi dan renungan bagi pemangku kepentingan dalam menetapkan kebijakan-kebijakan ke depan.[adv]
Baca Juga:  Bupati Aceh Selatan Sambut Kepulangan 156 Jamaah Haji Aceh Selatan

Berita Terkini

Haba Nanggroe