Pengantar Redaksi
Kruu Acehherald.com melakukan perjalanan jurnalistik ke Pulo Brueh Kecamatan Pulo Aceh, Kabupaten Aceh Besar, medio pekan ini. Banyak hal yang didapat dari Pulau yang penuh pesona pesisir nan eksotis itu. Namun sayang…..masyarakatnya belum mampu untuk mengolah sendiri kemudahan yang mereka dapatkan dari alam itu. Malah yang tersaji adalah sikap skeptis dan pasrah untuk bergulat dengan alam yang subur membentang. Hasilnya, semua komoditi yang dulunya pernah membuat jaya warga di sana, kini ,malah didatangkan dari daratan. Kelapa, beras hingga sayur mayur dipasok dari Banda Aceh. Dan ekonomi masyarakat pun semakin seret dan tertatih. Berikut kami turunkan laporan perjalanan itu unuk Anda dalam beberapa tulisan berikut ini.
***

BOAT kayu yang kami tumpangi memasuki arus Lampuyang, Pulo Breuh, Kamis (16/07/2020), kala jarum jam menunjukkan waktu pukul 09.45 WIB. Perjalanan yang lancar dan makan waktu tak sampai dua jam dari Pelabuhan Boat di Uleelhue Kutaraja. Kami mengarungi laut lepas dengan rombongan prajurit Kodam Iskandar Muda yang melakukan survey untuk sebuah acara di Pulo Breuh pada penghujung bulan ini.
Tak ada perubahan berarti, ketika di era medio delapan puluhan kami pernah mendarat secara rutin di Pelabuhan boat Lampuyang, kecuali lokasi dermaga sandar yang sedikit bergeser. Hanya ada sederet kedai kayu membelakangi kuala yang berjualan kopi. Benar benar nyaris tak ada geliat di kawasan yang hanya berjarak sekitar belasan kilometer dari pusat pemerintahan Aceh ini.
Pulo Brueh adalah bagian dari wilayah Kecamatan Pulo Aceh, Kabupaten Aceh Besar. Satu lagi pulau induk dalam wilayah Pulo Aceh adalah Pulo Nasi. Dikatakan Pulo Nasi, karena jika berangkat dari Banda Aceh masih bisa dibawa bekal dalam bentuk nasi, karena tidak sampai basi. Namun ke Pulo Breuh (beras), setiap pendatang harus membawa beras untuk dimasak di lokasi tujuan. Kalau membawa nasi akan basi, karena letaknya yang lebih jauh dari Kota Banda Aceh.
Kami singgah sejenak di sebuh keudee kupi gampong di sisi dermaga Lampuyang, untuk menyeruput kupi tubruk ala Pulo Aceh yang kental dan tinggi rendemen kopinya. Beberapa orang pria tampak santai di keudee kupi dan menyahut serentak salam kami. Lalu pembicaraan ringan mengalir begitu akrab dan tanpa basa basi tentunya. “Kami di sini Pak dalam kondisi 3T (tertinggal, terluar dan terlupakan),” kata Sulaiman, salah seorang dari mereka. Ada sirat pasrah dari nada bicara lelaki itu, seperti juga empat temannya di keudee kopi. Mereka berkata tanpa beban, dan juga tanpa tendensi. Dan mengalirlah unek unek anak pulau dari sanubari mereka.
Misalnya tentang komunikasi selular yang masih payah, karena jika ingin sekadar menelpon, mengirim gambar atau sejenisnya kepada teman dan kerabat, harus perlu ke tepian pantai untuk sekadar mendapatkan sinyal, lalu berpacu dengan waktu, karena sinyal hilang hilang timbul ibarat ombak yang adakalanya menggulung lalu pecah. “Harus pandai pandai memilih lokasi, itu kiat kami,” kata Abdullah.
Belakangan kami tahu jika ada beberapa lokasi di Pulo Aceh yang terjangkau sinyal Hape, seperti Gampong Seurapong yang lancar karena ada tower operator Telkomsel, atau sebagian Gampong Lampuyang yang terjangkau operator XL. Namun secara umum memang sulit didapat sinyal seluler dalam wilayah Pulo Breuh dan Pulo Nasi.
20 menit melepas rindu akan kupi Pulo Aceh, kami beranjak menyusuri tanjakan jalan tanah dari dermaga. , hanya sekitar 150 meter berjalan kaki, barulah tampak sebuah perubahan, yaitu berdirinya sebuah Gedung mungil berupa secretariat Badan Pengushaan Kawasan Sabang (BPKS) UPTD Pulo Aceh. Mungkin hanya ini perubahan yang signifikan di Gampon Lampuyang saat ini.
Siang itu kami memulai sebuah penelusuran tentang Pulo Aceh kekinian, terutama Pulo Breuh. Kecamatan Pulo Aceh yang meliputi Pulo Nasi dan Pulo Breuh punya luas wilayah mencapai 90 km persegi, atau lebih luas dari Kota Banda Aceh yang hanya 67 km persegi. Khusus Pulo Breuh sebagai pusat pemerintahan Pulo Aceh memiliki luas nyaris sama dengan Kota Banda Aceh, yitu 63,21 kilometer persegi yang terdiri atas 11 gampong dan dua kemukiman yaitu Kemukiman Pulo Brueh Utara serta Pulo Breuh Selatan.
Jarak batas luar Pulo Breuh dari Selatan (Lampuyang) hingga Utara di Gampong Meulingge mencapai 31 kilometer. Dengan medan jalan yang beragam, mulai dari batu lepas hingga aspal beton. Dengan luas yang lebih besar dari Kota Banda Aceh, Kecamatan Pulo Aceh hanya memiliki penduduk 4491 jiwa, bandingkan dengan Banda Aceh yang mencapai 270.321 penduduk pada tahun 2019. Makanya jangan heran jika kala menyusuri Pulo Breuh atau Pulo Nasi anda sering hanya akan mendapatkan hamparan kosong tanpa penghuni.
Tapi jangan sesekali anda berniat membeli tanah di Pulo Aceh, apalagi jika tahu anda akan berinvestasi, maka langsung dijawab no for sale just for rent. Masyarakat sudah cerdas untuk itu, mereka hanya mau menyewakan tanah, bukan menjualnya. Karena sewa adalah sebuah peluang pendapatan berkesinambungan. “Kami tak ada tanah lain, hanya itu tanah kami,” kata mereka. Sementara sepanjang mata memandang di garis pantai, nyaris lahan kosong tanpa penghuni. Itulah Pulo Aceh. Yang pernah dibuai mimpi sebagai calon Kota Hongkong baru paska habis kontrak Inggris dengan Cina soal daratan Hongkong tahun 1997 lalu.
Yaaa….mega musibah tsunami 26 Desember 2004 yang menyapu sepanjang bibir pantai Pulo Aceh yang terkurung dalam pelukan Samudera India itu membuat perubahan besar pada warga Pulo Aceh. Perubahan tentang turunnya minat untuk mandiri, serta naluri berusaha yang nyaris mati suri. Selama nyaris dua tahun penuh mendapat kucuran perhatian dari LSM yang memang butuh penyaluran untuk ‘menghabiskan’ bantuan, membuat masyarakat menjadi manja.

Lihatlah, saat anda memasuki kawasan Pulo Breuh misalnya, yang tampak adalah pohon kelapa tua yang sebagian telah mati, selebihnya, adalah batang yang meranggas tanpa buah. Tak ada peremajaan dengan dalih banyak hama babi. Dekade delapan puluhan lalu kelapa di kawasan ini tercampak dimana mana dan bisa ditukar dengan hanya satu kotak korek api kayu.
Pulo Aceh juga dikenal dengan era cengkihnya, serta pertanian padi dan sentra lahan tanaman cabai merah serta cabai rawit. Kini yang tersisa adalah figur figur yang hanya bergantung dengan hasil laut. “Kelapa kami datangkan dari Banda Aceh, beras kadang juga dari sana termasuk sayur mayur,” ujar seorang wanita penjual nasi di Gampong Seurapong.
Hal itu dibenarkan oleh seorang anak buah boat penumpang yang sehari hari mengangkut penumpang dari dan ke Pulo Breuh. “Dulu kami banyak mengangkut hasil tani dari Pulo Aceh, seperti cabai, beras atau kelapa. KIni hanya sedikit sekali, itu pun dalam bentuk ikan segar dan gurita. Malah lebih sering kami mengangkut barang yang sama dari Banda Aceh ke Pulo Aceh,” kata lelaki muda itu.
Rasanya kok jadi pas isilah 3T itu untuk Pulo Aceh, di tengah serbuan era neodigital dalam wujud 4.0. Contoh mudah misalnya, pada hari kerja seperti Kamis (16/07/2020) pukul 11.40 WIB, Kantor Camat Pulo Aceh hanya dihuni oleh beberapa ekor lembu dan kambing yang lalu lalang. “Kami sudah terbiasa begitu Pak, tak tau lagi mngadu kemana,” kata seorang warga.
Rakyat di 17 Gampong dalam Kecamatan Pulo Aceh memang tak layak jika terus terkurung dan terbuai dengan mimpi kehidupan instan pasca tsunami. Mereka yang sempat menganggap tanaman ganja ibarat tanaman padi atau sayur itu, memang harus diberdayakan. Bukan saatnya lagi mereka pasrah dan semata bergantung pada kemurahan hati lautan. Hamparan daratan yang subur adalah sebuah harapan masa depan. Yang dibutuhkan saat ini adalah bersatu tekad untuk memajukan Pulo Aceh, bukan sekadar menabur janji janji, seperti menjadikan lokasi peternakan sapi lokal hingga membangun rutan ala nusa kambangan. (nurdinsyam)