Tak dinyana dalam perjalanan mengelilingi Danau Toba atau tepatnya Geopark Kaldera Toba, akhirnya singgah di komplek kerajaan suku Batak Toba, yaitu Raja Laga Siallagan.
Seperti catatan sejarah bahwa Huta Siallagan dibangun pada masa pemerintahan pemimpin Huta pertama, yakni Raja Laga Siallagan. Setelah itu dilanjutkan oleh pewarisnya yakni Raja Hendrik Siallagan, hingga keturunan Raja Ompu Batu Ginjang Siallagan.
Saat ini, sejumlah keturunan dari Raja Siallagan masih berada di komplek setempat, khususnya di desa Siallagan Pinda Raya, di mana Huta Siallagan berada. Ya…kini komplek kerajaan tersebut dipimpin oleh keturunan ke 17 Raja Siallagan, Gading Jansen Siallagan, yang menjadi semacam pemandu.
Memasuki komplek kerajaan Siallagan, pengunjung harus memasuki gerbang batu yang sempit yang memuat satu orang saja. Setelah nya disebelah kiri terhampar rumah adat yaitu rumah bolon yang kini ditempati keturunan asli dari Raja Siallagan.
Disebelah kanan juga masih terlihat rumah bolon dan dua tribun untuk duduk pengunjung yang di antaranya berdiri tiga rumah sopo berukuran kecil untuk upacara penyambutan pengunjung yang disuguhi tarian adat setempat. Didepan rumah bolon kecil ini berdiri patung sigale-gale.
Konon, sigale-gale pada masa bahola bisa menari sendiri dikarenakan kemasukan arwah seseorang. Kini, sigale-gale menari dengan alat bantu listrik yang di iringi musik gordang dan lainnya.
Pemandu yang juga tetua di komplek kerajaan Siallagan ini kerap dipanggil Opung. Opung menerangkan secara panjang lebar sejarah rumah bolon termasuk sigale-gale dan kursi persidangan yang terbuat dari batu yang merupakan peninggalan dari nenek moyang mereka.
Batu Parsidangan telah dibuat ratusan tahun lalu oleh Raja Siallagan terdahulu untuk mewadahi para warganya yang hendak melakukan diskusi atau rapat. Sebab, di masa lampau, tak semua warga punya rumah atau halaman rumah yang cukup digunakan keluarga besar untuk berdiskusi.
Kata Parsidangan berasal dari bahasa Batak, yang berarti bersidang. Batu Parsidangan berarti batu yang disiapkan sebagai tempat untuk bersidang.

Selain bersidang, Batu Parsidangan dulunya digunakan sebagai ruang rapat untuk mengambil keputusan apapun kebutuhannya. Baik terkait konflik, merancang pesta pernikahan, hingga mempersiapkan acara kematian.
Diceritakan Opung bahwa ketika ada rakyat bahkan keturunan Raja sekalipun yang melakukan kesalahan, bakal disidang di kursi persidangan yang letaknya persis di depan rumah bolon milik raja. Diceritakan Opung bagaimana prosesi sidang hingga diputuskan hukuman yang diberikan sesuai kesalahan si terdakwa.
Kejahatan yang dimaksud diantaranya mencuri, membunuh, memperkosa, dan juga menjadi mata-mata musuh. Kejahatan ringan, maka pelaku akan diberikan sanksi berupa hukuman pasung.
Sementara kejahatan berat maka pelaku dapat dijatuhi hukuman pancung. Hari pelaksaan penghukuman dilakukan ketika si pelaku dalam keadaan lemah. Pelaku kejahatan pada masa itu, umumnya dilakukan oleh penduduk yang memiliki ilmu hitam.
Kemudian, setelah divonis hukumannya hukuman pancung. Maka unsur kerajaan dan algojo akan melakukan eksekusi terhadap Terdakwa di tempat yang tersedia, dimana tempatnya juga terbuat dari batu peninggalan nenek moyang opung. Tetua komplek pun mempraktekkan bagaimana awal mula penghukuman dilaksanakan hingga hukum pancung dilakukan oleh alhojo. Juga pada masa itu, tubuh, jeroan atau dalam, darah, dan Kepala terdakwa dibagi-bagi untuk dimakan.
Di masa kini, Batu Parsidangan tak lagi dipergunakan untuk bersidang, karena persoalan menyangkut hukum di masa kini sudah memiliki ranahnya sendiri. Diselesaikan secara hukum pula oleh pengadilan. Sementara konflik yang menyeret kepentingan pihak luar akan dibantu oleh kepala desa.
“Sudah lama sekali parsidangan dan hukuman pasung juga pancung tidak dilakukan lagi,” ujar Opung keturunan Raja Siallagan yang ke 17 ini.
Geosite Ambarita Tuk-tuk Tomok Huta Siallagan
Huta Siallagan adalah sebuah kawasan cagar budaya di tepian Danau Toba, peninggalan budaya Batak Toba dengan latar belakang Ruma Bolon. Huta Siallagan berada di desa Siallagan Pinda Raya, kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir, provinsi Sumatra Utara. Dibenarkan Gading Jansen Siallagan, keturunan raja Siallagan ke 17 bahwa Huta Siallagan terkenal dengan Batu Persidangan, peninggalan budaya persidangan Batak Toba.
Adapun luas komplek kerajaan beserta Huta atau desa Siallagan sekitar 11.000 meter persegi yang dikelilingi oleh tembok batu berukuran 1,5 hingga 2 meter. Bangunan tembok atau dindingnya terbuat dari batu yang tertata rapi.
Memasuki kawasan Huta Siallagan, sejumlah rumah adat Batak Rumah Bolon dan Sopo akan ditemukan di tempat ini. Sementara bangunan yang menjadikan Huta Siallagan istimewa adalah adanya sekumpulan kursi batu besar yang dipahat melingkari meja batu.

Kumpulan artefak furnitur batu ini disebut Batu Parsidangan atau Batu Persidangan, yang artinya “Batu untuk Pertemuan dan Ujian”. Batu-batu ini diyakini sudah berusia lebih dari 200 tahun.
Kemudian, di tengah-tengah Huta Siallagan terletak pohon Hariara (Tin atau Ara), pohon ini dianggap sebagai pohon suci oleh orang warga sekitar.
Setelah Opung mempraktekkan secara illistrasi pelaksanaan hukuman pancung. Kunjungan wisatawan pun berakhir di komplek kerajaan Siallagan. Kemudian pengunjung keluar melalui kedai kedai kecil yang menjajakan souvenir khas Batak Toba yang masih dalam pekarangan komplek kerajaan Siallagan.
Dan sepanjangan jalan menuju parkiran, pengunjung masih disuguhi dengan kedai penjual souvenir. Wisatawan dapat mencuci mata atau tawar menawar dengan penjual yang harganya masih terjangkau kocek pengunjung dalam negeri.
Meninggalkan komplek kerajaan Siallagan yang kini ditabalkan sebagai salah satu Geosite Huta Siallagan Tomok dari 16 geosite pendukung Geopark Kaldera Toba di Sumatera Utara, pengunjung bertolak ke dermaga sederhana tanpa pelabuhan menuju Parapat, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara.

Begitulah sekelumit torehan sejarah batu parsidangan yang konon katanya merupakan cikal bakal mengapa orang suku Batak banyak yang menjadi pengacara. Begitu juga rumah bolon yang terus dipertahankan hingga kini keberadaannya.
Menelisik ke Huta Siallagan pun berakhir, setelah pengunjung menyeberang dengan kapal penyeberangan meninggalkan Pulau Samosir menuju daratan Sumatera Utara, Parapat, jejak kaki perlahan menghilang dari komplek Kerajaan Raja Siallagan yang terhembus angin sepoi ditingkahi cerahnya cuaca hari itu.