
BANDA ACEH | ACEH HERALD.com-
Ustadz Masrul Aidi Lc yang mengisi ceramah subuh di Mushalla Al-Muhajirin Lamlagang, Banda Aceh, Selasa (5/4/2022) menceritakan bagaimana saat ini para kepala Lembaga Pemasyarakatan di Tanah Rencong telah menjadikan penjara sebagai lembaga pendidikan seperti dayah dan tahanan sebagai santri.
“Sistem yang berlaku di penjara saat ini telah berubah secara drastis, setelah sejumlah tokoh agama dan ulama di Pulau Jawa ditahan dalam penjara. Selama, dalam pengasingan dari jamaahnya, mereka kemudian melakukan dakwah di dalam penjara, dan menjadikan para tahanan sebagai santrinya,” kata dai muda tersebut.
Karena itu, sebagai pengelola lembaga pendidikan agama Dayah Babul Magfirah di Cot Keu-eung, Aceh Besar, Ustadz Masrul Aidi mengatakan pihaknya selalu mengingatkan kepada teungku dayah dan guru di lembaga pendidikan yang dipimpinnya jangan sekali-sekali menjadikan dayah sebagai rumah tahanan bagi santrinya.
Karena, siapa pun wali murid yang ingin mengunjungi anaknya di dayah Cot Keu-eung dipersilakan, kapan saja. “Wali murid dan anak-anaknya pasti sangat merindukan untuk saling bertemu. Dan di dayah saya, sudah saya wanti-wanti mereka boleh menjenguknya kapan saja,” Ustadz Masrul Aidi.
Namun dia mengingatkan bahwa menjenguk anak di lembaga pendidikan berasrama terlalu sering tidak baik bagi mental anak. Sebab, mereka didayahkan untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya.
Karena itu, saya berharap orangtua santri juga saling mendukung anaknya untuk bisa belajar dengan tenang. Hingga mereka setelah menamatkan pendidikannya menjadi orang berilmu dan hanya sekadar memiliki ijazah.
Bedanya pendidikan berasrama?
Suatu hari, kata Masrul Aidi, pihaknya bertemu dengan Kepala Dinas Pendidikan Kota Banda Aceh, Syaridin, dan dia menanyakan tentang kualitas lembaga pendidikan yang dikelolanya. Mana lebih bagus antara SMA Negeri 1 yang dihuni oleh anak-anak tokoh dengan lulusan SMAN 10 (sekolah berasrama)?
Menurut Syaridin jelas lebih unggul SMAN 10 Fajar Harapan. “Mereka di asrama, tidak hanya diajarkan pelajaran semata, tapi juga akhlak dan kehidupan bermasyarakat di lingkungan sekolahnya,” kata Masrul Aidi mengutip Syaridin.
Sementara itu di Aceh, lembaga pendidikan tertua sebenarnya lembaga dayah. Dari dayah telah melahirkan sejumlah tokoh dan sebagian dari pendiri republik ini. Tapi, setelah republik berdiri, ternyata pendidikan yang dikembangkan secara nasional bukan model dayah, tapi model sekolah Belanda. “Lembaga pendidikan dayah dijadikan nomor dua,” katanya.
“Padahal di negara-negara maju seperti Inggris, anak-anak raja Inggris semua bersekolah di sekolah berasrama, dan ini diharapkan bisa menjadi contoh bagi masyarakat Aceh,” ujar Masrul Aidi.