
BERMULA dari sebuah pasar hewan atau Pasar Seafood, Huanan di Kota Wuhan Propinsi Hubel, Cina Selatan—walau masih kontroversi-,di akhir tahun 2019 ‘terlompat’ dari jasad kelelawar dan trenggiling yang dikonsumsi warga Cina, tiba tiba horor yang bernama virus corona muncul dan menyebar cepat ke seantero jagad. Terkesan seperti sistematis.
Horor itu begitu cepat terekspor keluar Cina, menyeberang lautan merentang benua, entah mengapa seakan melangkahi Beijing dan Shanghai dua Kota utama di Cina, yaitu kota politik dan kota dagang. Bak melebihi kecepatan suara, corona merebak hingga membumi di 118 negara di dunia. Jagad tiba tiba panik luar biasa,
Dan kita pun teringat dengan sekuel film bergenre disaster movie, seperti Armageddon yang dibintangi actor papan atas Bruce Willis dan Ben Affleck, The Day After Tomorror, Deep Inpact hingga sekuel 2012 yang ditangani sutradara kondang sekelas Rolandd Emeriech, Mark Robson hingga Mimi Leeder.
Semuanya panik luar biasa. Kiriman video di dalam jaringan (daring) atau media sosial banjir dengan tragedy yang namanya corona virus desease 2019 (Covid-19). Orang orang yang berjatuhan di bus atau pasar, tragedy truk truk militer di Italia yang mengangkut mayat, hingga peringatan peringatan yang alih alih menenangkan, tapi justru makin membuat takut karena seperti berlomba menebar horor..
Entah kenapa, ketika penyakit yang mirip ta’eun itu muncul tanggal 30 Desember 2019 saat beberapa orang datang ke Rumah Sakit Pusat Wuhan dengan gejala flu biasa, namun belakangan sebuah hasil laboratorium mengejutkan muncul kesimpulan diagnose ada corona mirip SARS ((Severe Acute Respiratory Syndrome). Seperti dirilis oleh dokter Al Fen, Direktur Departemen Darurat RS Pusat Wuhan. Anehnya, dengan dalih stabilitas ala negara otoriter Tiongkok, informasi itu dibungkam oleh pemerintah Cina. Para pekerja medis tak diberi kelangkapan diri dalam menangani kasus itu, akibatnya korban berjatuhan, termasuk dokter Li Wen Liang yang membongkar pembungkaman tersebut dan meninggal dalam tugas menangani Covid-19 tanggal 6 Februari 2020..
Dan drama Wuhan pun mendunia melebihi SARS dan MERS (Middle East Respiratory Syndrom) yang juga sama terkait virus corona. Khusus SARS juga berawal dari Cina. Semua panik luar biasa, ekonomi lumpuh, pasar modal luluhlantak. Dan kepanikan itu juga ditunjukkan oleh pihak pihak yang seharusnya memberi ketenangan untuk rakyat banyak.
Lembaga kesehatan dunia (WHO) yang anak dari PBB juga menyatakan Covid-19 sebagai pandemi yang sifatnya global. Bukan hanya sekadar wabah yang mencakup satu negara, atau epidemi yang membentang pada sebagaian belahan dunia. Kepanikan makin menjadi jadi.
Jika sebelumnya, kita tak pernah mendengar pada musibah lainnya, kali ini WHO mengeluarkan rekomendasi social distancing (pembatasan sosial) dan akhirnya melunak menjadi physical distancing (jaga jarak secara fisik antar manusia).
Karena menurut Crystal Watson dari Pusat Keamanan dan Kesehatan di John Hopkins University, AS, social distancing bukan berarti mengunci diri di dakam rumah, karena justru mendatangkan penyakit baru, karena tidak mendapatkan paparan sinar matahari.

Euphoria kepanikan bak sekuel film bergenre disaster movie itu juga diakibatkan kebijakan para pemegang otoritas yang membuat rakyat semakin tertekan. Sepertinya tak ada sedikitpun kesejukan di tengah mental masyarakat yang down hingga ke titik nadir.
Mungkin karena menyadari masyarakat ‘menggemari’ sekuel ketegangan, media juga berlomba di garda terdepan memberitakan tentang Covid-19, terutama menyangkut korban, atau memberi nuansa drama dari statemen pihak berwenang. Misalnya tentang orang dalam pemantauan (ODP) yang dinyatakan sebagai kasus seakan akan sudah menjadi korban. Padahal ODP hanyalah warga yang pulang merantau dari daerah terinfeksi, namun mereka sehat dan bugar, hanya saja butuh berdiam di rumah selama 14 hari, karena masa inkubasi virus itu sampai 14 hari. Belakangan di Aceh malah muncul isu kuburan massal yang juga terkesan memelintir informasi.
Sangat dimungkinkan, karena tabiat masyarakat yang gemar dengan infiormasi ketagangan, serta empuk untuk menaikkan hit atau bahkan oplaag edar membuat semua berlomba menyajikan issu yang paling menggigit. Korbannya adalah masyarakat yang semakin tertekan.
Resultan dari itu semua adalah berlakunya jam malam, sebagai upaya social distancing dan terakhir menjadi physical distancing. Lengkap lah sudah! Semua tiarap, ekonomi masyarakat gonjang ganjing, negeri seperti dilanda kutukan.
Padahal semua tahu tingkat kematian Covid-19 jauh di bawah SARS dan MERS Jika rata-rata 35 persen pasien yang mengidap MERS dinyatakan meninggal dunia, maka Covid-19 justru jauh lebih sedikit. Tingkat kematian akibat virus corona merupakan yang terendah dibandingkan dua pendahulunya SARS dan MERS , yakni hanya 2,07 persen. Hanya saja korban meninggal akibat virus corona Covid-19 sejauh ini menjadi yang tertinggi yakni 4.616 orang, karena sebarannya jauh lebih luas.
WHO melaporkan jumlah kasus positif SARS di seluruh dunia mencapai 8.437 orang dengan 813 dinyatakan meninggal. Dalam waktu delapan bulan sejak kasus pertama kali dilaporkan, tercatat ada 8.096 orang dinyatakan positif mengidap SARS.
MERS atau dikenal dengan sindrom pernapasan Timur Tengah penyebarannya pertama kali dilaporkan di Arab Saudi pada 2012. Seperti halnya SARS, MERS juga merupakan penyakit pernapasan yang disebabkan oleh virus corona.
Sejak pasien pertama dinyatakan positif, MERS telah menyebar ke 27 negara di Eropa, Afrika, Asia, dan Amerika Utara. Bandingkan dengan Covid-19 yang juga ‘produk’ Cina, menyebar ke 118 negara dengan cepat, lengkap dengan bumbu horor melalui media massa.
Padahal kita harus tahu, Covid-19 sangat anti dengan suhu tinggi tropis, seperti Aceh yang rata rata di atas 30 derajat celcius, membuat virus covid mati sejenak menyentuh bumi. Sementara Eropa dan Amerika Utara kini sedang berada di posisi di bawah 12 derajat celcius, Suhu mana yang sangat disukai Covid-19 yang bersuhu optimum 8,7 derajat celcius. Sebagai gambaran hari ini suhu di New York 11 derajat Celsius dan Washington DC 09 derajat Celcius.
Selain itu, Covid -19 hanya menular lewat dropled yang keluar dari bersin, batuk yang menimpa media apapun, termasuk lantai. Dan ingat itu hanya mampu bettahan selama tiga puluh menit. Dengan jangkauan penularan 1,5 meter.
Lalu kita tarik ke Aceh, lima orang yang positif terpapar Covid-19 itu bukanlah muncul dari Aceh. Mereka adalah orang orang yang pulang dari daerah terinfeksi Covid-19, seperti beberapa kota di Pulau Jawa, serta ada yang pulang dari Malaysia.
Bahkan seperti yang dirilis oleh pihak RSUDZA hari ini, hanya tinggal satu orang pasien positif Covid-19 yang tersisa di ruang Respiratory Intensive Care Unit (RICU) RSUDZA, walau sebenarnya telah sembuh secara klinis, Itupun karena masih menunggu hasil swab terakhir dari Puslitbangkes Jakarta, seperti diakui oleh Direktur RSUDZA DR dr Azharuddin SpOT.
Artinya, kta harus menyadari sepenuhnya, jangan terlalu terkurung dengan opini bak horor, apalagi kini pemegang otoritas seperti terkesan mulai sadar dan balik meminta masyarakat berakifitas seperti biasa kembali. Social distancing berganti physical distancing, Jam malam yang sempat membuat mencekam telah dihapuskan. Portal portal yang menjadi bagian kebijakan ‘latah’ telah dibuka kembali. Karena corona tak bersliweran di udara bebas, dan terhirup bak menghirup asap bakaran sampah.
Kesadaran kolektif telah datang. Selamat tinggal horor corona yang telah meluluhlantakkan semua sektor kehidupan, termasuk budaya persaudaraan dan kekebarabatan. Sudah ada lagi tawa ceria di kedai kopi, ribuan orang orang yang menyambut pagi dengan bersepeda dan berjalan kaki mengelilingi pusat kota hingga pesisir pantai. Tapi tetap harus harus waspada, jarak jarak di anara ita, miniml 1,5 meter. Ingat kalau sudah tiba waktunya, Allah akan memanggil makhlukNya. Mari kembali kita tatap dunia, tanpa dibumbui horor corona.
Penulis : Nurdinsyam