
BANDA ACEH I ACEH HERALD
SEJUMLAH pegiat yang tergabung dalam Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas (PRBBK) di Aceh, bersama Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia (MPBI) membedah tingkat kesadaran masyarakat dan pemerintah dalam mengelola risiko bencana, melalui kegiatan yang berlangsung sejak 28 Agustus 2021.
Menurut Ferry Suferilla, penanggungjawab kegiatan, event itu sangat penting dilakukan, mengingat Provinsi Aceh merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang paling rawan terhadap bencana, terutama yang diakibatkan oleh faktor alam.
Kegiatan yang diberi tema “PRBBK sebagai strategi Percepatan Penanggulangan Bencana dan Percepatan Pandemi Covid-19 di Indonesia”, diselenggarakan dalam bentuk Focus Group Discussion (FGD) secara Daring dan Luring. “Peserta yang dilibatkan dalam FGD ini terdiri dari unsur pemerintah daerah, swasta, pemerhati dan praktisi, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) serta komunitas masyarakat lainnya,” kata Ferry.
Maksud diselenggarakannya kegiatan ini untuk mengulas serta mendokumentasikan pemodelan suatu kebijakan maupun kearifan serta inisiatif dari kelompok masyarakat, pemerintah maupun swasta dalam mengurangi risiko bencana tiap-tiap daerah di Aceh.
Diantara kearifan yang ada di Kabupaten Simeulue. Peristiwa gempa bumi dan tsunami yang terjadi pada tahun 1907 silam telah banyak merenggut korban jiwa. Sejak saat itu, peristiwa tsunami yang juga lebih dikenal dengan nama Smong (kosakata bahasa Simeulue) dijadikan sebuah peringatan tradisional oleh masyarakat setempat yang dikemas dalam bentuk syair dan lagu berbahasa Simeulue. “Alhamdulillah, saat tsunami pada 24 Desember 2004 silam tidak ada seorang pun dari masyarakat di Kabupaten Simeulue yang menjadi korban meninggal dunia, kecuali ada lima orang yang meninggal akibat gempa,” ujar Bupati Simeulue, Erli Hasyim, SH, S.Ag.
Begitu pun kebijakan dilakukan masyarakat di Gampong Anoi Itam, Kota Sabang. Masyarakat setempat berdomisili di pesisir timur Pulau Weh yang mayoritas merupakan nelayan ini memiliki hukum adat untuk mengatur beberapa hal. Diantaranya tentang hari pantangan melaut dan kawasan pantang melaut. “Bagi siapa saja yang melanggar aturan itu akan mendapatkan sanksi diantaranya denda dengan sejumlah uang,” jelas Panglima Laot Anoi Itam, Tengku Imran
Dan masih banyak lagi penuturan-penuturan banyak pihak yang ternyata belum diketahui selama ini oleh masyarakat luas di Aceh khususnya.
Menurut Ferry, hasil pendokumentasian pengelolaan bencana ini akan dibuat dalam bentuk Policy Brief dan disampaikan saat Konferensi Nasional PRBBK ke-14 pada 20-24 September 2021 yang diikuti oleh seluruh provinsi di Indonesia. “Dokumentasi dan informasi yang berhasil dikumpulkan ini nantinya akan menjadi bahan pembelajaran bagi kita semua (pemerintah, swasta dan masyarakat) untuk kemudian dapat dikembangkan sebagai upaya mitigasi bencana, tidak hanya di Aceh namun seluruh Indonesia hingga internasional,” ujar Ferry Suferilla.
Selain itu, Ferry juga menambahkan, masih terdapat kekurangan dan kelemahan (masyarakat, pemerintah dan swasta) dalam mengatasi permasalan terkait upaya-upaya pengurangan risiko bencana. “Untuk menguatkan itu kita juga tidak menutup diri untuk belajar dari daerah-daerah lain yang juga ikut menyampaikan Policy Brief dalam konferensi nasional nantinya,” Ferry melengkapi.
PRBBK merupakan sebuah pendekatan yang mendorong komunitas akar rumput dalam mengelola risiko bencana di tingkat lokal. Upaya tersebut memerlukan serangkaian upaya meliputi interpretasi diri atas ancaman dan risiko bencana, prioritas penanganan dan pengurangan risiko bencana, serta memantau dan mengevaluasi kinerja.