Kisah Kaum Muda yang Mengguncang Pemilu Thailand

JAKARTA | ACEHHERALD.com – Di sebuah ruko sempit di salah satu daerah pinggiran Kota Bangkok, sekelompok kecil sukarelawan dengan tergesa-gesa mengemas selebaran dalam rangka persiapan mencari dukungan. Ini adalah kantor sederhana milik Move Forward, partai paling militan yang bersaing dalam pemilihan umum bulan ini di Thailand. Mondar-mandir di antara mereka adalah calon anggota parlemen, Rukchanok … Read more

Iklan Baris

Lensa Warga

JAKARTA | ACEHHERALD.com – Di sebuah ruko sempit di salah satu daerah pinggiran Kota Bangkok, sekelompok kecil sukarelawan dengan tergesa-gesa mengemas selebaran dalam rangka persiapan mencari dukungan.

Ini adalah kantor sederhana milik Move Forward, partai paling militan yang bersaing dalam pemilihan umum bulan ini di Thailand.

Mondar-mandir di antara mereka adalah calon anggota parlemen, Rukchanok “Ice” Srinork, seorang perempuan berusia 28 tahun yang bersemangat dan terus-menerus mengotak-atik laman media sosialnya.

Tim kampanye Ice membeli sejumlah sepeda murah yang mereka pakai selama beberapa minggu terakhir, di tengah cuaca yang sangat panas, untuk menjangkau penduduk di gang-gang kecil kawasan Bang Bon.

Ice adalah salah satu dari deretan kandidat muda idealis untuk Move Forward. Dia memutuskan untuk terjun ke ranah politik praktis dengan harapan pemilihan kali ini akan membuat Thailand memutus lingkaran setan kudeta militer, protes jalanan, dan janji-janji demokrasi yang telah memerangkap negara itu selama dua dekade.

Move Forward adalah partai penerus Future Forward, yang bikin heboh panggung politik di Thailand lima tahun lalu.

Partai itu bersaing dalam pemilu pertama yang diizinkan militer sejak kudeta menggulingkan pemerintahan terpilih pada 2014. Future Forward muncul sebagai sesuatu yang baru, menjanjikan perubahan besar pada struktur politik Thailand, termasuk membatasi kekuatan angkatan bersenjata, dan, secara lebih halus mengusulkan perubahan pada monarki, yang saat itu merupakan topik yang sangat tabu.

“Agenda mereka pada dasarnya adalah tentang merebut kembali masa depan Thailand dari rezim yang berkuasa,” kata Thitinan Pongsudhirak, dari Institut Keamanan dan Studi Internasional di Universitas Chulalongkorn.

“Pada abad ini kaum muda harus hidup di negara yang dikalahkan oleh siklus tanpa akhir kami telah melalui dua kudeta, dua konstitusi baru, pembubaran yudisial terhadap partai-partai. Saya pikir demografi yang lebih muda sudah muak dan bosan karenanya. Dan Future Forward memanfaatkan sentimen itu.”

Mereka mengejutkan kaum konservatif dengan memenangkan jumlah kursi terbanyak ketiga dalam pemilu 2019.

Kekuatan pendukung Kerajaan Thailand, terdiri dari jaringan perwira militer, birokrat senior, dan hakim, merespons dengan cara mereka merespons ancaman serupa di masa lalu membuat Future Forward dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi, dan melarang para pemimpinnya terlibat dalam politik.

Partai itu kehilangan sekitar sepertiga anggota parlemennya, dan penggantinya, Move Forward, menjadi satu-satunya suara oposisi di parlemen.

Kandidat dari Partai Move Forward Pita Limjaroenrat, 42 tahun, bersama para pendukungnya di Chiang Mai. (Getty Images)

Baca Juga:  Dua Ormas Bentrok di Sukabumi, Ini Penyebabnya

Namun dalam beberapa minggu terakhir, popularitas partai tersebut dalam jajak pendapat kembali melonjak, membuat para lawannya khawatir. Banyak jajak pendapat memilih pemimpin partai, Pita Limjaroenrat, yang karismatik dan pandai bicara, sebagai kandidat untuk perdana menteri.

Popularitas itu mengubah penerimaan Ice dan relawan bersepedanya di Bang Bon, yang secara tradisional merupakan wilayah kekuasaan satu keluarga berkuasa dari partai saingan. Masyarakat sungguh-sungguh tertarik dengan apa yang ditawarkan anak-anak muda ini. Bahkan warga yang lebih tua berbicara tentang perlunya perubahan besar di Thailand.

Ice sendiri melambangkan perubahan lanskap politik ini. Dia mengakui bahwa dia adalah seorang mantan pendukung kerajaan garis keras yang mendukung kudeta militer dan mengagumi pemimpinnya, Jenderal Prayuth Chan-ocha, yang sampai hari ini masih menjadi perdana menteri.

“Saya pikir saya melakukan ini sebagian karena rasa bersalah telah menjadi bagian dari gerakan yang mendukung kudeta, suatu kejahatan terhadap 70 juta orang,” katanya.

“Waktu itu, saya setuju dengan [kudeta] dan berpikir itu adalah jawaban yang tepat untuk negara ini. Tetapi kemudian saya bertanya pada diri sendiri, bagaimana itu bisa terjadi? Bagaimana bangsa ini bisa mendukung kudeta? Dan saat itulah saya menjadi ‘taa sawang’.”

“Taa Sawang” – secara harfiah berarti “mata cerah” – adalah ungkapan yang digunakan oleh anak-anak muda Thailand untuk menjabarkan momen ketika mereka merasa tercerahkan tentang topik-topik yang sebelumnya tabu, khususnya monarki.

Frasa tersebut adalah semboyan gerakan protes massal yang meletus setelah Future Forward dilarang pada 2020, yang dalam sekejap meminggirkan jutaan pemilih muda yang haus akan perubahan.

BBCChonticha “Kate” Jangrew adalah bagian dari protes anti pemerintah yang mengguncang Thailand pada 2020.

Gerakan tersebut, meskipun akhirnya dihancurkan melalui penggunaan ekstensif hukum lese majeste yang ketat, berhasil mendobrak tabu dengan menyerukan secara terbuka, untuk pertama kalinya, agar kekuasaan dan keuangan monarki dapat dipertanggungjawabkan.

Tiga tahun kemudian, dukungan Move Forward untuk reformasi kerajaan tidak lagi tampak begitu mengejutkan. Dan lebih banyak orang Thailand tampaknya bersedia untuk mendukung agenda perubahan lebih luas yang dicanangkan partai tersebut.

Chonticha “Kate” Jangrew berjalan dari arah yang berlawanan. Momen “taa sawang”-nya jauh lebih awal, ketika dia masih mahasiswa.

Dia termasuk di antara sekelompok kecil pembangkang yang siap mengambil risiko ditangkap dengan memprotes kudeta tahun 2014, yang waktu itu masih didukung Ice. Dia juga bergabung dengan aksi protes yang jauh lebih besar dan berfokus pada monarki pada tahun 2020.

Baca Juga:  Bupati Aceh Selatan Lepas Ribuan Peserta Fun Walk Festival Pesona Barat Selatan.

Tapi sekarang dia memutuskan untuk melepaskan kehidupan aktivisnya, dan maju dalam pemilihan sebagai calon anggota parlemen, juga untuk Move Forward. “Saya percaya untuk mencapai perubahan yang kita inginkan, kita harus bekerja di parlemen dan juga di jalanan,” katanya.

Tawarannya kepada para pemilih di Pathum Thani, distrik lainnya di luar Bangkok, tidak biasa.

“Saya punya 28 tuntutan pidana terhadap saya,” katanya kepada mereka – dua di antaranya di bawah hukum lese majeste, yang masing-masing diancam hukuman 15 tahun penjara. “Tapi itu menunjukkan kepada Anda bahwa saya cukup berani untuk bicara ketika saya melihat sesuatu yang perlu terjadi untuk negara kita.”

Bahkan pemilih yang lebih tua tampak terpesona oleh ketulusannya. Hampir semua orang di pasar tempat dia muncul mengatakan mereka menyukai Move Forward, karena mereka mewakili perubahan, dan akan menepati janji-janji mereka.

Chonticha “Kate” Jangrew (tengah) berbicara kepada sesama pengunjuk rasa pro demokrasi saat unjuk rasa anti pemerintah di Bangkok pada 14 Oktober 2020. (Getty Images)

Untuk semua gebrakan yang dihasilkan oleh Move Forward, tidak banyak yang percaya kalau mereka mampu memenangkan cukup banyak kursi untuk membentuk pemerintahan. Sistem pemilihan yang telah direvisi kurang menguntungkan bagi mereka dibandingkan pemilihan terakhir. Dan Thailand adalah masyarakat yang menua, sehingga pemilih di bawah 26 tahun – pendukung alami Move Forward – mencakup kurang dari 15% pemilih.

Tapi jika lonjakan dukungan terhadap partai hari ini bertahan sampai hari pemungutan suara, mereka bisa mendapatkan cukup banyak kursi untuk menjadi bagian dari pemerintah koalisi, atau suara oposisi yang kuat. Dari situ, muncul sebuah pertanyaan tak terelakkan akankah pihak yang berkuasa menggunakan skema ekstra-parlementer untuk melumpuhkan kelompok reformis sekali lagi?

“Agenda partai Move Forward adalah tantangan eksistensial bagi pusat-pusat kekuasaan yang mapan militer, monarki, peradilan, institusi dan para pemain yang telah menguasai Thailand selama puluhan tahun,” kata Thitinan Pongsudhirak.

“Saat ini, mereka mungkin akan menunggu hasil jajak pendapat. Tetapi setelah itu, penguasa konservatif harus bertanya pada diri sendiri, apa lagi yang bisa mereka lakukan? Mereka bisa membubarkan partai, tetapi partai itu kembali, bahkan lebih kuat. Mereka melakukan kudeta militer, tetapi akhirnya mereka harus kembali ke konstitusi. Dan meskipun mereka menulis ulang aturan pemilu yang menguntungkan mereka, partai mereka masih kalah dalam pemilihan.”

Sumber: detiknews

Berita Terkini

Haba Nanggroe