JAKARTA | ACEHHERALD – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) rupanya tengah mengkaji penggunaan campuran Hydrotreated Vegetable Oil (HVO) untuk program Biodiesel 35% alias B35.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menjelaskan bahwa penggunaan HVO bisa membuat pemakaian bahan bakar menjadi lebih hemat karena kandungan kalorinya sedikit lebih tinggi dari campuran Fatty Acid Methyl Esters (FAME) yang selama ini dicampurkan pada Bahan Bakar Minyak (BBM) Solar. Adapun HVO maupun FAME pada dasarnya berasal dari bahan baku minyak kelapa sawit (CPO).
Oleh sebab itu, pemerintah saat ini tengah mengkaji pemanfaatanya untuk program B35.
“Kami sedang mengkaji pola pemanfaatannya karena dari segi harga, masih lebih mahal daripada biodiesel,” kata Dadan kepada CNBC Indonesia, Kamis (12/01/2023).
Menurut Dadan, pencampuran 5% HVO pada BBM Solar ini secara teknis memungkinkan. Dengan pencampuran 5% HVO, maka kandungan biodiesel atau B35 bisa menjadi 65% BBM Solar, 30% FAME, dan 5% HVO.
Namun demikian, harganya memang masih lebih mahal.
“Kita akan dorong pemanfaatan HVO untuk di-blending dengan minyak Solar dengan angka setana yang tinggi seperti pada Pertadex kalau yang produk Pertamina,” ucapnya.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Asosiasi Jasa Pertambangan Indonesia (Aspindo) Bambang Tjahjono menyampaikan bahwa pihaknya mendukung penuh langkah pemerintah untuk segera mengimplementasikan program B35. Apalagi, hal tersebut sebagai upaya untuk menggenjot pemanfaatan sumber energi dalam negeri yang ramah lingkungan.
Namun demikian, selain B35 dengan campuran komposisi FAME sebesar 35% dan Solar 65%, pihaknya mengusulkan agar dibuka opsi campuran lainnya, salah satunya yaitu dengan Hydrotreated Vegetable Oil (HVO).
Dengan demikian, program B35 ini dilakukan dengan pencampuran 65% BBM Solar, 30% FAME (seperti halnya B30 yang sudah berjalan) dan ditambah 5% dari HVO atau biasa dikenal dengan Green Diesel D100.
Pihaknya mengusulkan, setidaknya untuk Biodiesel B35 bagi industri pertambangan ini ada unsur pencampuran HVO, tidak sepenuhnya 35% dari FAME.
Dia beralasan, berdasarkan pengujian yang sudah dilakukan pihaknya, hasil pengujian ini menunjukkan bahwa dengan campuran HVO sebesar 5%, hasilnya lebih bagus untuk di penyimpanan ketimbang hanya dengan campuran FAME.
“Fokus kami untuk penyimpanan jangka panjang. Jangan makin lama negatifnya makin berat. Kalau dengan HVO ini sudah diuji. Karena anggota kami sudah simpan sendiri dengan dua macam itu, kalau gak salah 6 bulan. Itu peningkatan penyerapan air dari udara bebas tadi jauh lebih lambat kalau pakai campuran HVO,” kata Bambang saat ditemui CNBC Indonesia di Jakarta, dikutip Senin (09/01/2023).
Berdasarkan rekomendasi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), masa penyimpanan bahan bakar biodiesel saat masih B30 sebaiknya tidak lebih dari tiga bulan, terutama di tempat yang mudah terkontaminasi udara.
Menurutnya, pihaknya juga sudah melakukan berbagai upaya untuk mengurangi dampak negatif dari biodiesel ini, seperti memasang saringan berganda (double filter) pada tangki penyimpanan, serta melakukan perawatan rutin pada tangki mesin.
Bila campuran FAME ditingkatkan, pihaknya mengkhawatirkan efek negatif akan semakin lebih besar. Namun hal berbeda ketika diuji coba menggunakan pencampuran HVO. Menurutnya, dampak negatif dari HVO, bahkan setelah enam bulan penyimpanan, dinilai hampir tidak ada.
Oleh karena itu, pihaknya pun telah mengirimkan surat kepada Kementerian ESDM agar untuk industri alat berat dan jasa pertambangan, campuran biodiesel untuk B35 ini ada opsi untuk ditambahkan HVO, setidaknya 5% HVO, sehingga tidak murni 35% campuran dari FAME, dilansir dari CNBC Indonesia.