BANDA ACEH I ACEHHERALD.com – Muhammad Nazar, salah seorang yang mendaftarkan diri ke partai politik, untuk menjadi salah seorang bakal calon (Balon) Gubernur Aceh 2025-2030 mendatang, secara lugas menyatakan kesiapannya untuk masuk kontestasi politik menuju kursi Aceh 1.
Kesiapan itu termasuk soal logistik reguler yan dibutuhkan, mulai dari sosialisasi yang masiv hingga biaya saksi untuk seluruh daerah pemilihan di Aceh. “Insya Allah, tentu kami berpikir sampai ke situ. Dan itu hal hal yang wajar saja, serta memang dibutuhkan dalam sebuah pesta kontestasi politik,” kata Nazar, wakil gubernur Aceh 2007-2012.
Pernyataan itu dilontarkan Nazar menanggapi pertanyaan salah seorang awak media yang mentamsilkan kesiapan seseorang untuk masuk ke jalur kontestasi politik, terutama untuk posisi Gubernur, haruslah memiliki ulee (integritas dan wawasan), pangkee (sinonim untuk kepemilikan modal yang cukup) serta bulee (marwah dan keteladanan sehingga disegani).
Awak media tersebut secara lugas menanyakan kepada Nazar seputar pangkee atau modal. Hal itu berkaca kepada Pemilu Pileg dan Pilpres yang terkesan sangat transaksional serta diklaim sebagai brutal.
Bagi Nazar kapitalisasi politik itu harus disikapi dengan arif, serta diwarnai dengan edukasi politik yang kuat di tataran masyarakat.
Hal itu disampaikan Nazar dalam silaturrahmi dengan jurnalis yang difasilitasi Forum Pemred di Banda Aceh, Kamis (30/0/2024) petang. Dalam pertemuan santai penuh keakraban tersebut, Nazar menyatakan, dirinya akan ikut meramaikan kontestasi Pilkada untuk untuk perubahan Aceh ke arah yang lebih baik.
Pria kelahiran Ulim, Pidie Jaya, 1 Juli 1973 ini menegaskan, siapapun nanti yang terpilih menjadi Gubernur Aceh harus mampu meningkatkan nilai tawar Aceh di mata Pemerintah Pusat. “Ini harus disampaikan kepada rakyat Aceh, bahwa pilih pemimpin itu untuk mereka sendiri, ketika pemimpih hasil pemilihan berkuasa, rakyat tidak punya kuasa untuk menurunkannya lagi. Ini kita ingatkan dari sekarang agar terpilih pemimpin yang baik dan benar benar memahami keinginan dan asa masyarakat Aceh,” imbuhnya.
Nazar menambahkan, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang benar-benar mengerti persoalan Aceh. Salah satu indikatornya adalah bisa memperjuangkan dan menghasilkan implementasi Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) secara lebih luas.
“Kita berharap partai politik di Aceh baik partai nasional maupun partai lokal, tidak terlalu pragmatis dalam mengusung calon, tidak terjebak pada mahar dan sejenisnya. Ini menjadi bagian penting yang harus kita kawal,” tambahnya.
Sementara terkait nilai tawar Aceh kata Nazar, selama ini Aceh seakan kurang punya nilai tawar di mata Pemerintah Pusat, bahkan dalam 6,5 tahun terakhir terjadi kekacauan politik di Aceh, bahkan Aceh tidak punya wakil gubernur. Apa yang sudah terjadi di Aceh harus menjadi pelajaran, sehingga Aceh tidak terjebak pada persoalan yang sama.
Secara khusus Nazar menyinggung rumors massifnya money politics dalam Pilkada. Bahkan baru-baru ini ada kasus narkopolitik, uang dari bandar narkoba mengalir dalam pesta demokrasi, seperti yang terjadi di Aceh Tamiang yang menyeret nama anggota dewan terpilih hingga disebut sebut hingga tingkat DPR RI, dari partai yang selama ini terkesan ‘hijau’.
Nazar mengaku jika hal itu sudah diingatkannya jauh-jauh ketika masih menjabat sebaga Wakil Gubernur Aceh.“Kita berharap itu tidak terjadi lagi dalam Pilkada nanti. Fenomena uang narkoba dalam politik ini sudah saya sampaikan dari dulu. Yang penting kita gunakan dana politik untuk hal-hal yang produktif, sehingga uang yang diinvestasikan untuk politik bermanfaat bagi masyarakat,” tegasnya.