JAKARTA | ACEHHERALD.COM- Sebagai sama-sama negara bekas jajahan, Indonesia dan Malaysia diwarisi banyak bentuk kebudayaan peninggalan kolonial di segala aspek. Mulai dari hukum, politik, mentalitas, kebudayaan, dan linguistik. Khusus yang terakhir, ada pembeda jelas antara kedua negara tersebut, yakni persoalan kefasihan berbahasa asing di kalangan penduduknya.
Sebagai negara bekas jajahan Inggris selama ratusan tahun, penduduk Malaysia dan bekas koloni Inggris lain seperti Singapura, diketahui fasih berbahasa Inggris di samping bahasa Melayu. Kondisi ini berbeda dengan penduduk Indonesia yang sama sekali tidak bisa berbahasa Belanda meski hidup lama di bawah penjajahan Belanda. Paling mentok, pengaruh Belanda di sektor bahasa terletak pada banyaknya kata serapan di bahasa Indonesia yang diambil dari bahasa Belanda. Ambil contoh gordijn menjadi gorden, atau bioscoop menjadi bioskop.
Lalu, mengapa ini bisa terjadi?
Pada dasarnya perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan corak kolonialisme Belanda dan Inggris. Inggris diketahui dengan sengaja melakukan ‘invasi’ kultural Barat ke masyarakat Melayu. Invasi ini membuat kebudayaan lokal membaur dengan kebudayaan barat atau bahkan menghilang. Lalu, di sektor bahasa, kebijakan ini membuat orang melayu cukup pandai berbahasa Inggris.
Sedangkan, Belanda tidak melakukan itu semua kepada penduduk Indonesia. Peneliti sejarah dari Nanyang Technological University, Christopher Reinhart, kepada CNBC Indonesia, Selasa (14/8), menjelaskan setidaknya ada dua alasan yang membuat Belanda mengambil sikap berbeda terhadap kebudayaan lokal, yang berujung pada rendahnya tingkat kefasihan bahasa Belanda di masyarakat Indonesia lintas generasi.
Pertama, dilihat dari sudut pandang struktur kolonialisme Belanda. Saat itu masyarakat lokal dan orang Belanda berada di struktur berbeda. Orang Belanda di kelas paling atas. Sementara penduduk lokal berada di paling bawah. Dalam perspektif mereka, apabila Belanda menyebarkan kebudayaan, maka sama saja menganggap penduduk lokal dan orang Belanda itu setara secara kultural. Alhasil, agar struktur itu tetap terjaga, mereka tidak mau membagikan kebudayaan Belanda.
Kedua, Belanda selalu melihat dari perspektif eksploitasi ekonomi sebagai ciri negara kolonial. Kata Reinhart, mereka merasa tidak masalah apabila tidak menyebarkan kebudayaan, yang penting tetap melakukan eksploitasi dan menguntungkan secara ekonomi.
“Snouck Hurgronje, salah satu pejabat pemerintah kolonial, pernah mengatakan bahwa ‘masalah kebudayaan tidak usah dipaksa. Biarlah bertumbuh dengan sendirinya, tanpa menghilangkan budaya lokal,” ujar Reinhart.
Dua sikap Belanda itu berlangsung dari mulai fase eksploitasi tanam paksa dari 1830-1900 dan terus berlanjut saat Belanda menerapkan politik balas budi atau politik etis di tahun 1900. Mereka, kata Reinhart, selalu fokus pada aspek ekonomi dan tidak mau merusak kebudayaan lokal. Apalagi khususnya setelah politis etis diterapkan mereka semakin paham bahwa menginvasi kebudayaan lain itu tidak baik. Kendati demikian, bukan berarti penduduk lokal tidak boleh mengadopsi kebudayaan barat. Toh, Belanda juga tidak tertutup soal itu. Faktanya banyak juga kebudayaan barat yang diadopsi penduduk lokal.
Beranjak dari alasan itulah, bahasa lokal, bahasa Melayu dan bahasa Indonesia tumbuh berkembang. Meski begitu, orang Indonesia sebetulnya tidak perlu kecewa apabila tidak bisa berbahasa Belanda seperti orang Malaysia yang fasih berbahasa Inggris. Sebab, bahasa Belanda bukanlah bahasa pergaulan internasional seperti bahasa Inggris.
Sumber: cnbcindonesia.com