Oleh : Wiratmadinata
WAKTU jua yang membuktikan secara sahih, jika rangkaian trik serta manuver politik yang dilakukan berbagai “pemain”/kelompok, bahkan oleh politisi di gedung dewan sekalipun (baik pro maupun kontra) yang bertujuan membangun opini, prakondisi maupun legitimasi (termasuk sampai memfitnah) terhadap satu sosok yang jadi target belakangan ini, sebenarnya tidak ada gunanya sama sekali. Semuanya dipungkasi oleh kehendak lembaga atasan, yang bisa jadi melihat secara lebih jernih, tanpa terkontaminasi dengan kepentingan sesaat dari personal maupun kelompok.
Manuver dengan mengerahkan massa, bahkan dengan mengkondisikan media elektronik atau malah media mainstream sekalipun, dalam kondisi saat ini, seperti tak laku lagi. Dunia yang serba terbuka dalam era digital membuat semuanya menjadi lebih jernih untuk dilihat dan disimak. Konon lagi dikaitkan dengan SOP seorang Penjabat Gubernur/Bupati/Walikota yang sudah sangat terukur serta jauh dari jangkauan kewenangan lembaga legislatif, kecuali hanya sebatas mengusul yang bargaining positionnya nyaris tak ada. Karenanya, pengkondisian dan manuver politik seperti termarjinalkan dalam konstelasi kursi Penjabat Kepala Daerah saat ini.
Mengapa?
- Basis hukum penetapan Penjabat Gubdrnur, Bupatiserta Walikota; bukanlah mekanisme politik,melainkan murni mekanisme birokrasi. Bukti/contoh; Ketika DPRA bermain politik dengan hanya mengusulkan satu nama, padahal yang diminta tiga nama; maka tetap saja Mendagri memasukkan 2 nama pilihan mereka sehingga jadi 3 nama.
- Rumus yang digunakan kelompok penekan di Aceh untuk memprovokasi publik agar mendukung salahsatu nama, terbukti sia-sia; sebab apapun keputusannya ditentukan oleh 2 hal, yaitu;
Pertama; Basis Kinerja; Setiap Penjabat, diwajibkan membuat laporan kinerja per-tiga bulan (triwulan), yang model laporannya murni birokrasi minded, dengan model logical framework (Kerangka Kerja Logis-LFW) yang sangat ketat. Di dalam LFW tersebut wajib melampirkan data; Kualitatif + Kuantitatif yang terverifikasi (bisa dibuktikan). Lalu setiap 3 bulan masing-masing Penjabat, menghadap Panelis dari Irjen Kemendagri (sampai 7 orang), mempresentasikan hasil laporannya dan diverifikasi.
Hasilnya akan ada skor; Biasanya skor di atas 80 dianggap Berkinerja Baik (biasanya dipertahankan), kurang dari itu dianggap kurang baik, terendah dianggap berkinerja buruk jika nilainya hanya sekitar 60-an. Yang berkinerja buruk inilah yang biasanya diganti. (mirip ujian). Jadi; seandainya ada tukang demo atau bahkan menjurus tukang fitnah, mau sampaikan apapun percuma, jika ternyata penilaian Mendagri menyatakan sebaliknya. Ya…akan sia-sia.
- Kedua; Basis Kepentingan Nasional; Disini mungkin ada terbuka ruang politis, tapi tetap juga memperhatikan point Basis Kinerja. Karena meskipun ada agenda nasional yang harus diamankan di suatu daerah, namun Pj.-nya tetaplah harus memiliki kecerdasan yang cukup.
- Terakhir; soal usulan DPRK/DPRD/GUB; Itu bukan syarat, ya? Itu hanya bersifat rekomendasi; Buktinya/contoh; Ada usulan DPRK ajukan 4 nama, akhirnya di tingkat Gubernur balik jadi 3 juga. Kalau semua nama tidak cocok dengan Mendagri? Bisa saja mereka minta kirim nama lain yang memenuhi syarat. Tapi itu juga akan beda treatmennya antara;? Usulan pertama dengan usulan yang sifatnya perpanjangan.
Kesimpulan; Manuver apapun yang digunakan akan efektif jika cocok dengan aspek; Kinerja + kepentingan nasional. Jika tidak, maka yang ada hanya kegaduhan (seperti yang sekarang terjadi), dan hasilnya juga spekulatif.
Setiap anomali dari skema di atas (tetap saja bisa terjadi), tapi presentasenya kecil, dan itu sudah memasuki aroma korupsi (suap-menyuap atau sogok menyogok).
Demikian; Mungkin catatan ini bisa jadi pertimbagan bagi para kelompok penekan, pendemo bayaran, maupun “para pemain”, yang sekarang sedang syoorrr, syoor, sedap menikmati hasil “penggalangannya”.
Dan ingatlah; “Tuhan tidak tidur”.
#(Berterang-terang dalam gelap)
DR Wiratmadinata SH MH, Mantan Dekan sekaligus Dosen Senior Fakultas Hukum Universitas Abulyatama, Pemerhati Politik dan Sosial Kemasyarakatan, Pegiat Hak Azasi Manusia (HAM)