BKSDA Aceh Klaim Lahan Warga Sepihak, Ketua PeTA Aceh: Ini sebuah Intimidasi

"Ini sebuah tindakan intimidasi yang dilakukan pihak BKSDA Aceh terhadap warga tanpa ada musyawarah, tentu ini dapat mengancam kenyamanan dan keamanan warga setempat sehingga dapat menimbulkan konflik yang berkepanjangan," kata Ketua PeTA
Ketua Pembela Tanah Air (PeTA) Aceh, T Sukandi. Foto dokumentasi pribadi

Iklan Baris

Lensa Warga

TAPAKTUAN | ACEHHERALD.com – Terkait konflik lahan, Ketua Pembela Tanah Air (PeTA) Aceh, T Sukandi mengatakan tindakan yang dilakukan BKSDA Aceh yang mengklaim sepihak lahan milik warga Gampong Seunebok Jaya, Kecamatan Trumon, masuk dalam kawasan Konservasi Suaka Margasatwa Rawa Singkil adalah sebuah bentuk intimidasi.

“Ini sebuah tindakan intimidasi yang dilakukan pihak BKSDA Aceh terhadap warga tanpa ada musyawarah, tentu ini dapat mengancam kenyamanan dan keamanan warga setempat sehingga dapat menimbulkan konflik yang berkepanjangan,” kata Ketua PeTA, T Sukandi, Jumat (12/07/2024) di Tapaktuan.

Ditambahkan T Sukandi bahwa lahan yang ditempati belasan tahun oleh masyarakat tersebut sah atas hak kepemilikan dibuktikan dengan sertifikat yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Aceh Selatan pada tahun 1996.

Namun, tiba-tiba pihak BKSDA Aceh klaim lahan tersebut masuk dalam kawasan konservasi Suaka Margasatwa Rawa Singkil.

“Lahan yang digarap warga tersebut yakni program nasional transmigrasi di era Pemerintah Presiden Soeharto, untuk menyukseskan program sebagai pemerataan pembangunan maka pemerintah mengajak masyarakat turut serta menjadi peserta transmigrasi,” paparnya.

Lanjutnya, saat itu Pemerintah Indonesia memberikan jatah hidup pada mereka selama mereka belum berhasil menggarap tanah garapan untuk penghidupan mereka dan sekarang mereka bermukim di satu desa yang berlokasi di Seunebok Jaya dengan jumlah 300 kepala keluarga atau lebih kurang 600 jiwa.

“Di tahun 1996 pemerintah memberikan sertifikat kepada masyarakat atas kepemilikan tanah yang sah seluas 2 hektar per KK atas nama negara sebanyak 900 lembar sertifikat dengan rincian dalam satu KK menerima tiga sertifikat yakni rumah dengan luas 25 x 100 meter, untuk lahan garapan satu dengan luas 75 x 100 meter dan lahan garapan 2 dengan kuas 100 x 100 meter,” jelas T Sukandi.

Baca Juga:  Pj Walikota Lhokseumawe Dr Imran Membuka Acara Pengelolaan Sumber Daya Nasional

Ironisnya, kata Mantan DPRK Aceh Selatan itu, sekarang ini seakan-akan masyarakat transmigrasi ini dianggap seperti warga negara asing yang telah merampok tanah milik orang lain, pada hal mereka adalah warga negara Indonesia yang sama hak dan kewajiban dimata hukum dan pemerintahan negara republik Indonesia (pasal 27 ayat 1 UUD 1945).

Demikian juga dengan tanah yang mereka miliki bahwa setiap warga negara berhak atas tanah yang dimilikinya berdasarkan status yang sah dengan diberikan hak untuk mendapatkan hasil dari tanah yang mereka miliki tersebut (pasal 9 ayat 2 UU nomor 5 tahun 1960 tentang pokok-pokok Agraria).

“Saya berharap pada semua pihak terkait, didalam kasus sengketa tanah di Seuneubok Jaya, ini mohon penyelesaiannya dengan cara bermusyawarah agar persoalan dapat diselesaikan tanpa merugikan pihak manapun,” pintanya.

Selain itu juga pemerintah sekarang ini secara nasional yang dulu mengajak masyarakat ikut serta menurunkan dengan program ketahanan pangan tetapi nyatanya di dalam implementasinya jauh berbeda.

“Bila masyarakat dirampas haknya dan tidak dapat lagi tinggal dan mengambil hasil dari kebun di atas tanah mereka maka sama saja pemerintah telah membunuh hak serta menghilangkan mata pencarian masyarakat setempat,” pungkas T Sukandi.

Penulis: Zulfan

Kata Kunci (Tags):
konflik lahan, Ketua Pembela Tanah Air, PeTA Aceh, lahan milik warga gampong seunebok jaya, bksda aceh,

Berita Terkini

Haba Nanggroe