TANGAN pria itu tampak sedikit bergetar ketika mancis dengan api menyala didekatkan ke bungkusan plastik hitam hingga secara perlahan membakarnya. Hari itu, Selasa 8 Oktober 2024, kala matahari mulai runduk ke barat, sekitar pukul 15.30 WIB. Pria itu adalah Imran Joni, lelaki kelahiran Banda Aceh 03 Nopember 1964 yang menghabiskan masa kecilnya nun jauh di sana, Susoh Abdya..
Plastik hitam tersebut berisi kaos hitam jersey salah satu harian terdepan di Aceh, ‘Rakyat Aceh’ (RA) yang telah terbit secara kontinyu sejak tahun 2005 silam. Imran Joni tak bisa dilepaskan dari perjalanan media itu yang kadang terseok melalui onak serta ombak menggunung. Suami dari Ina Suryani itu seakan menjadi elkapiten abadi di lembaga media Grup JPNN yang beralamat di Lhong Raya Banda Aceh tersebut.
Kini semuanya telah berakhir. Ya menurut sang elkapiten, berakhir begitu saja…..yaaa…begitu saja, ibarat angin berlalu tersaput badai. Dan pembakaran jersey ‘Rakyat Aceh’ itu adalah bentuk ekspressi dari seorang Elkapiten Joni terhadap cara ending yang menurutnya sangat tak elegan. Betapa tidak, jersey itu selama ini dengan dada tegak dikenakan Joni kemanapun ia melangkah. Jersey yang menjadi harga diri dan muru’ah untuk sang elkapiten selama dua dekade.
Pembakaran jersey itu dilakukan dalam sebuah aksi keprihatinan secara tunggal yang dilakukan Joni di teras Kantor Rakyat Aceh, tempat selama ini ia sering leyeh leyeh menghabiskan waku petang menyambut malam yang dijemput sang waktu.
Jangan ragukan dedikasi seorang Joni terhadap lembaga yang selama 19 tahun ia ayomi, karena di kalangan eksternal, Joni telah identik dengan Rakyat Aceh. Baik kalangan sesama awak media, birokrat hingga petinggi TNI dan Polri sekalipun. Karenanya jangan heran, pada suatu masa, saat RA ‘limbung’, Elkapiten Joni memanfaatkan jaringannya untuk meminjamkan dana segar, agar likuiditas RA stabil dan operasional lancar lagi. Joni secara gamblang menyebut dua figur yang menyuntik likuiditas untuk RA kala itu.
Sebelum berkiprah di RA yang menjadi pelabuhan terlamanya, ayah dari Muhammad Aqil dan Annisa Yasmin itu telah malang melintang di dunia media. Ia memulai dari Koran Peristiwa, Aceh Post, Berita Yudha, Aceh Ekspres, Berita Lima hingga berlabuh di RA sejak tahun 2005, beberapa hari setelah harian itu operasional di Aceh, paska tsunami 2004.
Di RA, Joni melalui nyaris semua posisi redaksional dan manajemen. Mulai sebagai reporter hingga Pemred dan terakhir sejak tahun 2016 ia didapuk menjadi ‘the big bos’ dengan posisi Direktur Utama (Dirut) melalui RUPS media grup JPNN itu.
Dalam aksi tunggal tersebut Joni merinci tentang keputusan pemberhentiannya dari barisan RA. Semua itu bermuasal dari sebuah sertifikat tanah yang diakui atas nama Dahlan Iskan, dengan lokasi tempat berdirinya komplek RA saat ini. El Kapiten Joni secara lugas merincikan sekuel demi sekuel perihal keberadaan sertifikat tanah itu, yang berujung lambaian kartu merah untuk dirinya, hingga keluar dari line up RA, yang selama ini dibelanya secara tanpa reserve.
Sebagai sosok yang telah kenyang makan asam garam belantara media, ia tak meratapi lambaian kartu merah itu. Namun yang ia sesali proses hingga munculnya lambaian kartu merah itu sendiri. Masalahnya, sampai sejauh ini–seperti diakui Joni–belum ada selembar surat resmi pun yang ia terima dari manajemen, terkait pemberhentian dirinya. “Saya hanya menerima via Whattsap (WA) massenger, serta sebuah berita di RA tentang keputusan rapat secara sirkuler atau keputusan di luar RUPS. Itu saja!”, Tentu ini menurut mantan bigbos Rakyat Aceh itu, sangat tak patut, terasa ironi dengan apa yang telah ia persembahkan selama ini untuk korporasi.
Paska lambaian kartu merah tersebut, Joni hanya ingin haknya sebagai mantan karyawan dipenuhi, seperti pesangon yang harus dibayar penuh. Karena hal itu sesuai dengan regulasi yang ada. Sebuah sumber di internal RA mengakui jika pesangon itu belum dibayar, karena ada proses yang harus dijalani. Lalu kemana Elkapiten Joni akan berlabuh? “Biarlah saya menenangkan pikiran dulu sambil mendekatkan diri dengan keluarga yang selama ini waktu sua kami banyak yang tersita. Toh dunia tak selebat daun kelor,” tandas Joni.
Yang jelas selama 19 tahun Elkapiten Joni berperan bak seorang warrior (pejuang) bagi RA, walau akhirnya peran itu berujung elegi. Di kalangan teman dan sahabat Joni tetap Joni yang dulu, tanpa melihat embel embel sebagai Dirut atau apapun. Selamat menatap bentang asa di masa hadapan Elkapiten Joni!!