SEDIKITNYA dua buah Drakor (Drama Korea) baru saja dipentaskan di Aceh, dan memunculkan daya ledak ‘peminat’ yang luar biasa hingga di pelataran nasional. Magnitudo drakor itu bukan justru karena dimainkan secara elegant dan perfect, tapi justru karena dinilai diperankan secara sangat sembarangan, kalaulah tak bisa dikatakan kebablasan.
Dari kedua lakon drakor itu, sangat tampak dimainkan dengan tergesa-gesa dan seperti ada pemesan nya, yang sangat berkemungkinan membuat order di tengah rasa galau. Lalu memilih untuk ‘main sore’
Dari kasus pertama adalah drama dalam babak perempatfinal cabor sepakbola PON XXI Aceh-Sumut yang mempertemukan skuad tuan rumah Aceh dengan Sulteng. Inilah drama olahraga yang paling memilukan dan membuat miris hingga mencoreng kredibilitas Panpel sekaligus tuan rumah Aceh Hasilnyam Erick Tohir bos besar PSSI memerintahkan untuk mengusutnya secara tuntas.
Sedikitnya tiga kartu merah dikeluarkan untuk pemain Sulteng, lalu ditambah dua penalti hingga Aceh yang tertinggal berhasil menyamakan kedudukan dan berakhir dengan memang Walk Out (WO) atas tamunyam sekaligus maju ke babak semifinal dan akhirnya menyegel medali perunggu.
Korban dari drakor yang seperti nya sangat sederhana ceritanya itu adalah wasit Eko Agus Sugiharto (EAS) dari Sumsel yang entah mengapa tiba tiba masuk daftar pemimpin laga, padahal sebelumnya laga itu diplot untuk Achmad Hafid Ilmi dari Jatim.
Wasit EAS yang terkesan memainkan lakon orderan, akhirnya tersungkur di kotak enam belas Sulteng, setelah sebuah uppercut fullback Rizki menghantam rahang depannya. Dua ambulans masuk lapangan.
Tak bisa dibantah lagi, sinyalemen Drakor kedua adalah lakon di altar kontestasi politik Pilkada Aceh, dan dugaan pelakon nya adalah barisan di Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh.
Betapa tidak, KIP Aceh sebelumnya sempat menetapkan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, Bustami Hamzah-Fadhil Rahmi, sebagai Tidak Memenuhi Syarat (TMS). Keputusan ini diambil setelah KIP Aceh melakukan penelitian terhadap persyaratan administrasi hasil perbaikan calon pasangan tersebut pada Sabtu (21/9/2024).
Tercatat Dalam surat berita acara bernomor 210/PL.02.2-BA/11/2024, KIP Aceh menyatakan bahwa Bustami Hamzah dan Fadhil Rahmi dinyatakan TMS. Keputusan ini diambil karena pasangan tersebut tidak melakukan penandatanganan surat pernyataan MoU Helsinki di depan lembaga DPR Aceh. Eh…..belakangan keputusan dalam berita acara itu dibatalkan, menyusul surat Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang mementahkan Keputusan KIP Aceh tersebut.
Karena surat itu pula, Minggu (22/09/2024) malam, KIP Aceh secara lengkap mengadakan konferensi pers yang menyatakan Bustami/Fadhil diterima menjadi Calon Gubernur/Calon Wakil Gubernur Aceh dan dipersilakan datang hari ini ke Hotel The Pade untuk mengambil nomor urut.
Ketua KIP Aceh, Saiful Bismi, mengakui bahwa pencabutan keputusan tersebut berdasarkan surat KPU RI nomor 2148 tertanggal 21 September 2024, yang mengubah keputusan KIP Aceh nomor 17 tentang pedoman teknis pencalonan pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil walikota. “Berdasarkan hasil keputusan itu, kami memutuskan bahwa Pak Bustami Hamzah dan Pak Muhammad Fadhil Rahmi dinyatakan Memenuhi Syarat,” ungkap Saiful kepada awak media.
Saiful menambahkan, perubahan keputusan dari TMS menjadi Memenuhi Syarat (MS) dilakukan karena KIP Aceh mengacu pada qanun (peraturan daerah) nomor 12 dan keputusan nomor 17. Saat ini, KIP telah melakukan perubahan terhadap keputusan tersebut dengan mengacu kepada qanun nomor 7 tahun 2024, yang merupakan perubahan atas Qanun Aceh nomor 12 tahun 2016.
Yang membuat bingung, apakah pihak KIP Aceh tak mengetahui adanya perubahan qanun Aceh nomor 12 tahun 2016 tersebut. Atau mungkin karena kitab qanun yang ergabung dalam lembar daerah itu terlalu tebal, hingga tak tampak.
Pertanyaan yang sama juga untuk lembaga DPRA, apakah mereka tak tahu dengan perubahan itu, atau mungkin karena mereka terlalu sibuk hingga tak sempat membaca hal hal yang bisa jadi dianggap remeh temeh.
Atau jangan-jangan ada pihak yang mencoba menitip pesan tegas dan pasti melalui semilir angin malam. Agar memainkan segala cara hingga ada pihak yang jatuh duluan sebelum masuk pentas oktagon Pilkada 2024. Sekali lagi, ini hanya jangan-jangan!!
Terlepas apapun, kita memang tahu siapa yang membidani KIP jika mengacu kepada regulasi pemilihannya. KIP dibidani oleh para politisi di Komisi 1 DPRA dan DPRK dan juga hal yang sama di tingkat pusat. Walau memang dilimpahkan kepada sebuah tim Adhoc, namun hasil akhir tetap sebagai sebuah keputusan politik.
Hanya saja kita berdoa agar tak ada yang menjadi korban dalam Drakor Pilkada Aceh saat ini. Cukuplah wasit Eko Agus Sugiharto merasakan pahitnya pengadilan langsung di lapangan, hingga tersungkur. Karena belum tentu tidak, terlampau jauh ‘menari’ pisau regulasi akan mengirisnya. Makanya jadilah wasit yang mampu berdiri di tengah, walau godaan untuk miring sebelah tetap saja ada. Hati-hati Boosqu.
(*) Pemimpin Redaksi Acehherald.com, Ketua Forum Pemred Aceh