Acehherald.com — Indonesia yang dikenal dengan lintasan “ring fire” ternyata belum secara menyeluruh memiliki sistem peringatan dini untuk gempa bumi, sehingga berisiko besar terkena dampak tsunami, menurut sebuah penelitian terbaru.
Dalam analisis data geologis terbaru diketahui telah terjadi 19 tanah longsor kuno yang telah terjadi sejak 2,5 juta tahun lalu, di sekitar negara kepulauan itu. Tanah longsor bawah laut terjadi, rata-rata, sekali setiap 160.000 tahun.
Jika peristiwa tersebut berulang, mereka mengklaim, wilayah yang paling berisiko adalah kota Balikpapan dan Samarinda, dengan populasi gabungan lebih dari 1,6 juta orang, seperti dikutip dari DayliMail, Kamis (23/4/2020). Para peneliti bahkan mengatakan usulan ibu kota baru Indonesia di Teluk Balikpapan juga akan sangat terpengaruh.

Tim penelitian yang berada dibawah Universitas Heriot-Watt, Edinburgh, mengatakan temuan itu menyarankan masyarakat pesisir di wilayah daerah terdampak harus memiliki dan memahami sistem mitigasi jika bencana tsunami akibat longsoran bawah laut terjadi.
Peneliti Rachel Brackenridge mengatakan, “Tanah longsor terbesar terdiri dari sedimen sedalam 600 kilometer, sedangkan sedimen terkecil yang kami identifikasi adalah lima kilometer.” Puing-puing yang dihasilkan oleh tanah longsor terbesar yang diidentifikasi akan memenuhi Sydney Sydney 1.000 kali lipat.
Ia juga mengatakan tim yang memetakan di bawah dasar laut menggunakan data seismik. “Kita bisa melihat dasar laut yang berlapis dan teratur, lalu ada sedimen besar yang tampak kacau. selain itu dapat mengetahui dari karakteristik internal bahwa sedimen ini tumpah ke lereng dengan cara yang cepat dan bergejolak”.
“Ini seperti longsoran bawah laut,” tegasnya berulang.
“Ini merupakan wilayah berisiko dan di dalamnya termasuk wilayah yang diusulkan untuk ibukota Indonesia baru di pulau Kalimantan tersebut”.
Diketahui “Episentrum tsunami ‘Boxing Day 2004′” yang menewaskan sekitar 230.000 orang di beberapa negara berbeda yang terjadi dua dekade lalu, Indonesia, merupakan negara yang paling parah terkena dampaknya.
Uisdean Nicholson, yang memimpin penelitian di Universitas Heriot-Watt, mengatakan tanah longsor adalah efek samping dari arus yang kuat melalui selat.
Dia menjelaskan, “Arus bertindak sebagai sabuk konveyor, mengangkut sedimen dari Delta Mahakam dan membuangnya di lereng benua atas ke selatan, membuat dasar laut lebih curam, lebih lemah dan lebih mungkin untuk runtuh.”
‘Kami memperkirakan peristiwa tsunamigenik terbesar – yang menggantikan 100 kilometer kubik – terjadi setiap 500.000 tahun”, paparnya lagi.

“Indonesia memiliki langkah-langkah mitigasi dan peringatan dini di berbagai wilayah lain. di negara ini tetapi tidak pada daerah yang akan terkena dampak gelombang tsunami yang ditimbulkan oleh tanah longsor ini.
“Ini termasuk kota Balikpapan dan Samarinda, yang memiliki populasi gabungan lebih dari 1,6 juta orang.”
Dia menambahkan, “Peristiwa semacam itu dapat dikonsentrasikan dan diperkuat oleh Teluk Balikpapan, situs yang dipilih untuk ibu kota baru Indonesia”.
Ia menambahkan, langkah kami selanjutnya adalah mengukur risiko di daerah ini dengan membangun berbagai model numerik peristiwa tanah longsor dan generasi tsunami. “Ini bisa membantu kita memprediksi ukuran ambang yang menyebabkan tsunami berbahaya dan membantu menginformasikan strategi mitigasi apa pun.”
British Geological Survey dan University College London juga terlibat dalam penelitian ini, yang diterbitkan dalam publikasi Masyarakat Geologi London. (MO)
Editor: Salim