Parnas Come Back?

[divider style=”solid” top=”20″ bottom=”20″] BANDA ACEH | ACEH HERALD HARI ini, 5 November 2020 di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) di Banda Aceh tercatat sejarah baru dalam hal penggantian pucuk pemimpin Aceh. Ir. H. Nova Iriansyah, M.T. yang selama ini menjadi Plt Gubernur dilantik menjadi Gubernur Aceh sisa masa jabatan 2020-2022. Nova Iriansyah sebagai … Read more

Iklan Baris

Lensa Warga

Mendagri Tito Karnavian atas nama Presiden RI melantik Nova Iriansyah menjadi Gubernur Aceh, Kamis (05/11/2020) (Dok. Foto Humpro Aceh)

[divider style=”solid” top=”20″ bottom=”20″]

BANDA ACEH | ACEH HERALD

HARI ini, 5 November 2020 di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) di Banda Aceh tercatat sejarah baru dalam hal penggantian pucuk pemimpin Aceh. Ir. H. Nova Iriansyah, M.T. yang selama ini menjadi Plt Gubernur dilantik menjadi Gubernur Aceh sisa masa jabatan 2020-2022.

Yuswardi Mustafa

Nova Iriansyah sebagai Ketua DPD Partai Demokrat Aceh menduduki jabatan Aceh 1 setelah Gubernur Aceh Irwandi Yusuf bermasalah dengan hukum dan berakhir dengan keputusan presiden yang memberhentikan Irwandi Yusuf atau lazim disapa Teungku Agam dari posisi gubernur dan mengangkat Nova Iriansyah yang sejatinya Wakil Gubernur Aceh dan Plt Gubernur Aceh saat proses hukum Irwandi bergulir, menjadi Gubernur Aceh definitif.

Putra dari Kabupaten Aceh Tengah ini punya waktu sekitar 24 bulan untuk melanjutkan visi misi Irwandi/Nova melalui ruh ‘Aceh Hebat’ yang menjadi jargon kampanye Irwandi/Nova pada Pilkada tahun 2017 lalu.

Peristiwa pelantikan Nova Iriansyah bagi penulis, adalah suatu yang sangat menarik dari sisi konstelasi politik lokal di Aceh yang dikenal sangat dinamis. Betapa tidak, Aceh sudah 15 tahun dipimpin oleh Gubernur yang berasal dari partai lokal. Dalam catatan yang diperoleh Aceh Herald, pada tahun 2006 pasca setahun diundangkan Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh terjadi pemilihan kepala daerah secara langsung.

UUPA itu pula yang membuat Aceh special, karena menghadirkan calon independen, sebagai jawaban Pemerintah Pusat atas pemberian hak politik kepada mantan kombatan, dengan tidak melalui perahu partai, namun dengan syarat dukungan langsung dari rakyat dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dalam batas minimal jumlah yang ditentukan. Satu hal yang belum pernah diberikan kepada propinsi lain di negara ini, walau belakangan terjadi secara nasional.

Pada tanggal 11 Desember 2006 pilkada digelar serentak untuk provinsi dan 19 kabupaten/kota di Aceh. Pilkada diselenggarakan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh.

Data KIP Aceh saat itu menunjukkan, jumlah pemilih sebanyak 2.632.935 orang, yang tersebar di 21 kabupaten/kota; yang memilih di 8.471 Tempat Pemungutan Suara. Jumlah perolehan suara sah untuk seluruh pasangan adalah 2.012.370

Pilkada diikuti oleh delapan calon, dua di antaranya adalah calon independen. Adapun paslon waktu itu adalah Iskandar Hoesin – Saleh Manaf (PBB), Tamlicha Ali – Harmen Nuriqmar (PBR, PPNUI, dan PKB), Malik Raden – Sayed Fuad Zakaria (Partai Golkar, PDIP, dan PKPI), Humam Hamid – Hasbi Abdullah (PPP), Djali Yusuf – R. A. Syauqas Rahmatillah (Calon Independen), Irwandi Yusuf – Muhammad Nazar (Calon Independen), Azwar Abubakar – Nasir Djamil (PAN dan PKS) dan Ghazali Abbas Adan – Salahuddin Alfata (Calon Independen)

Baca Juga:  Pj Bupati Lantik 72 Pejabat Struktural di Lingkungan Pemkab Aceh Besar

Pilkada 2006 memenangkan pasangan Irwandi Yusuf – Muhammad Nazar sebagai gubernur dan wakil gubenur Aceh periode 2007 – 2012.

Selama lima tahun pasangan ini berhasil membangun Aceh secara baik. Program JKA adalah sesuatu banget dan sangat dirasakan manfaat oleh masyarakat.

Waktu terus bergulir dan tibalah pada 9 April 2012. Suksesi kembali terjadi. Irwandi dan Muhammad Nazar kembali mencalonkan diri. Mereka “pisah” dan mencari pasangan masing-masing.

Lagi lagi Pilkada Aceh kali ini diwarnai dengan kehadiran kontestan baru dalam konstelasi politik di Aceh, yaitu partai lokal. Sebagai upaya menjawab sekaligus menyalurkan hasrat politik serta asilimilasi menyuruh pihak pihak yang terkait konflik di Aceh dengan dinamika suksesi di Aceh. Lagi lagi jalur independen tetap juga ada.

Data dari KIP Aceh, sebanyak lima pasangan gubernur/wakil gubenur Aceh mengikuti Pilkada serentak, tiga di antaranya maju dari jalur independen. Calon gubernur adalah Tgk Ahmad Tajuddin (Abi Lampisang) – Teuku Suriansyah (Independen), Irwandi Yusuf – Muhyan Yunan (Independen), Darni M Daud – Ahmad Fauzi (Independen), Muhammad Nazar – Nova Iriansyah (Demokrat, PPP, Partai SIRA) dan Zaini Abdullah – Muzakir Manaf (PA).

Hasil Pilkada 2012 diumumkan dalam rapat pleno KIP Aceh yang digelar di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Selasa 17 April 2012. Pasangan Zaini Abdullah – Muzakir Manaf yang masuk gelanggang suksesi nyaris di injury time resmi memenangkan Pilkada Aceh dan selanjutnya memimpin untuk periode 2012 – 2017. Sebuah hasil yang membuktikan jika Partai Aceh menjadi hegomoni politik yang tak terbantahkan di Aceh.

Masa lima tahun diselesaikan secara baik oleh pasangan Abu Doto/Mualem, dan tibalah pada tahun 2017, dalam Pilkada ini Irwandi Yusuf/Nova Iriansyah yang mengusung kombinasi partai lokal melalui PNA dengan partai nasional Demokrat, berhasil memenangkan pemilihan. Keduanya lalu berduet mempimpin Aceh untuk periode 2017-2022.

Ada hal menarik dalam konstelasi politik di Aceh! Walaupun masih tetap digawangi dengan dominasi partai lokal, namun situasi sudah berubah. Partai Aceh yang sangat dominan tiba tiba seperti meredup dalam gemerlap panggung politik di Aceh. Hegemoni itu sedikit bergeser ke PNA yang notabene lebih soft dan moderat.

Baca Juga:  Baru ‘Ujicoba’ Keluar Lapas, Pria F Kembali Bobol Gerai Handphone

Namun apa hendak dikata, justru dalam proses pendewasaan berpolitik itu pula, periodesasi kali ini malah menjadi bad ending untuk generasi partai lokal di Aceh, ketika el Capitan Irwandi terjerat kasus hukum. Tiba tiba dominasi yang tersisa dan terkesan merapuh itu, tumbang di tengah jalan. Cerita manis tentang hegemoni Parlok itu seakan terpungkasi, seiring palu hakim berdentam dan mengirim Teungku Agam ke Lapas Sukamiskin Bandung. Drama tiba tiba menjadi elegi!

Mau tak mau, rela tak rela, era pemimpin parlok telah berakhir. Ya…..sejenak sebelum pentas kontestasi sebenarnya di helat dua tahun ke depan. Selama itupula, cerita Parlok di kursi pemimpin Aceh kita lupakan sejenak. Ya….15 tahun Aceh dipimpin oleh gubernur dari partai politik lokal atau koalisi antara partai politik lokal dan partai politik nasional.

Dan ….terhitung mulai 5 November 2020 hari ini, tampuk kepemimpinan Aceh dipegang oleh Nova Iriansyah yang merupakan Ketua DPD Partai Demokrat Aceh. Sebagai rakyat tentu ada harap pada kita semua. Moga akan ada perubahan yang lebih baik ke depan, apalagi parnas punya jaringan atau networking yang lebih lebih luas melalui DPP masing-masing di Jakarta, ada perwakilan di DPR/RI serta punya kader di masing-masing kementrian.

Kita juga punya asa, agar disharmoni antara  legislative dengan eksekutif yang selama ini terbaca di publik, termasuk disharmoni  antara sebagian kelompok di DPRA bisa diminimalisir. Hubungan yang baik antara dua lembaga ini sangat diharapkan sehingga terwujud program yang sudah dicanangkan serta selaras dengan MoU Helsinki dan UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Semua kita tentu tak ingin, kisruh komunikasi politik itu justru membuat kepentingan 5,4 juta warga Aceh seperti tergadaikan. Selain itu, sisa dua tahun ke depan menjadi pembuktian apakah masih layak parnas come back dan kembali menguasai hegemoni politik di Aceh.

Memang, yang perlu diingat adalah tidak ada sesuatu yang sempurna. Nobody is perfect (tidak ada seorang pun yang sempurna), tapi rakyat punya hak membentangkan asa. Selamat berjuang Kamerad Nova !!

 

PENULIS     :     YUSWARDI MUSTAFA

Berita Terkini

Haba Nanggroe