MULAI Januari tahun 2020, angin segar berhembus ke dapur Pak Keuchik, atau para kepala desa serta perangkat gampong di Aceh Besar. Sesuai dengan PP nomor 11 tahun 2019, gaji para kepala desa itu akan naik menjadi Rp 2.426.640 per bulan. Sekretaris Desa Rp 2.224.420, dan gaji perangkat gampong lainnya seperti Kaur, Kasi dan Kadus paling sedikit Rp 2.022.200 per bulannya.
Setidaknya jumlah yang diterima itu tak lagi membuat kita mengurut dada seperti yang terjadi selama ini, dimana gaji perangkat gampong untuk keuchik Rp 1 juta per bulannya, sekdes Rp 700 ribu per bulan, kaur dan kadus masing-masing Rp 500 ribu perbulannya.
Jumlah itu tentu jauh dari koridor ketentuan upah minimum sekalipun. Sementara sehari hari pemerintah di negeri ini secara lantang menyuarakan tentang kewajiban perusahaan untuk menggaji karyawannya dengan besaran upah minimum yang telah ditetapkan. Bahkan untuk Propinsi Aceh, besaran upah minimum propinsi di tahun 2019 mencapai Rp 2,9 juta, naik dari tahun 2018 senilai Rp 2,7 juta.
Bayangkan, dengan gaji seorang perangkat gampong yang paling tinggi hanya Rp 1 juta setiap bulannya. Sementara jam kerja mereka nyaris 24 jam. Bukankah itu melebihi dari istilah mengeksploitasi manusia yang menjurus menginjak harkat dan martabat. Namun itu dilakukan secara legal dan dilengkapi dengan label yang namanya regulasi, oleh tataran birokrasi di negeri ini.
Kini jumlah uang jerih yang diterima oleh perangkat gampong itu memang nyaris naik 2 kali lipat di tahun 2020. Atau beberapa bulan ke depan. Sementara tahun 2019 yang masih menyisakan hari 30 hari lagi, perangkat gampong kita terutama di Aceh Besar, masih harus setia dengan jerih yang jauh dari layak itu.
Rencana kenaikan upah jerih perangkat gampong tersebut dilontarkan Bupati Aceh Besar Ir H Mawardi Ali, kepada awak media, kemarin. Namun walaupun telah dipastikan naik, gaji para perangkat gampong itu ternyata hanya setara dengan gaji aparatur sipil negara (ASN) gologan dua atau berijasah sekolah menengah atas (SMA).
Terasa ironi memang, ketika seorang keuchik yang memimpin warganya yang kadang juga ada professor, konglomerat, atau bahkan jenderal sekalipun, ternyata jabatannya hanya disetarakan dengan golongan dua. Atau paling tidak, gajinya hanya setara golongan dua.
Dengan fenomena di atas, maka akan terasa wajar jika banyak keuchik yang ayal ayalan dalam melakoni tugasnya di gampong. Terutama untuk membuat pertanggungjawaban anggaran. Karena mereka juga harus pontang panting memenuhi kebutuhan untuk menggerakkan roda kehidupan keluarga.
Karena Pak Keuchik bukanlah sosok malaikat yang tak punya nafsu serta anak dan istri. Pak Keuchik adalah manusia biasa yang juga butuh kehidupan yang layak untuk anak dan istrinya. Sementara berharap dari gaji sebagai aparatur gampong, mungkin hanya cukup untuk sekadar membeli beras atau minyak kompor. Sementara hidup tak hanya sebatas beras serta sumbu kompor semata.
Kita mendukung adanya kepastian kenaikan gaji perangkat gampong itu. Karena itu bagaimanapun adalah angin segar untuk dapur pak keuchik dan stafnya di gampong. Namun di sisi lain kita tetap berharap agar gaji perangkat gampong itu, setidaknya menyamai upah minimum regional. Karena pemerintah sendiri berkoar koar tentang kewajiban penerapan UMR bagi usaha swasta. Eh ternyata pemerintah sendiri malah mengeksploitasi perangkatnya di level gampong bak buruh di jaman romusha. Bukankah itu ironi?!!
Nurdinsyam
Pemimpin Redaksi