Santri di Puncak Birokrasi, Bukan Sekadar Basa Basi

HARI ini, Kamis 24 Oktober 2019, seluruh santri di Aceh mengikuti upacara  Hari Santri Nasional, di lapangan Blang Padang, Banda

HARI ini, Kamis 24 Oktober 2019, seluruh santri di Aceh mengikuti upacara  Hari Santri Nasional, di lapangan Blang Padang, Banda Aceh. Hari Santri itu sebenarnya jatuh pada tanggal 22 Oktober setiap tahunnya. Khusus secara nasional, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) memimpin langsung acara peringatan Hari Santri Nasional di Lapangan Gasibu, Bandung, Ahad malam 22 Oktober 2019. Presiden berpesan, santri diminta berdiri di garda depan dalam menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Khusus di lapangan Blangpadang yang terletak di jantung Kota Banda Aceh itu, Peringatan Hari Santri Nasional dipimpin oleh Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah.

Upacara itu benar benar berbeda dengan upacara peringatan lainnya di Aceh. Betapa tidak, seluruh peserta yang mengikuti upacara bendera Hari Santri ini memakai baju putih dan sarung khas santri dayah dengan peci hitam menghiasi kepala.

Bukan hanya dipakai oleh para santri, namun juga oleh Plt Gubernur Nova Iriansyah yang menjadi inspektur Upacara, serta jajaran SKPA  dan para undangan. Beberapa ulama kharismatik di Aceh, ikut mendampingi Nova dalam acara yang sangat kental aura agamisnya itu. Mereka antara lain,  Waled Nu Samalanga, Waled Marhaban Bakongan, Tgk Muhammad Yusuf A Wahab, Wakil Ketua  MPU Aceh, Lem Faisal Sibreh, Abiya Anwar Kuta Krueng.

Nova dalam sambutannya memberi apresiasi luar biasa bagi para santri dan ulama yang selama ini berkontribusi besar bagi upaya pencerdasan umat di Aceh. Karena itulah menurut Nova, sudah sewajarnya kalangan santri diberi tempat istimewa di tataran birokrasi terutama di Aceh.

Orang nomor satu di pemerintahan Aceh itu malah secara lugas menyatakan, nantinya kalangan santri dayah dapat mengisi posisi kepemimpinan pada berbagai tingkatan di Aceh. Mulai dari posisi keuchik hingga gubernur atau bahkan presiden sekalipun. “Hari ini seperti kita saksikan bersama, Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2019-2024 adalah seorang ulama yang dulunya juga pernah menjadi seorang santri,” tandas Nova.

Potensi itu menurut Nova juga didasarkan pada fenomena santri saat ini yang juga memiliki kompetensi serta kecerdasan intelektual. Menurutnya hal itu seharusnya dapat memotivasi dan menginspirasi para santri dalam memimpin negeri, bahwa kalangan santri juga mempunyai kecerdasan intelektual yang ditambah dengan kecerdasan spiritual. Potensi yang dimiliki oleh santri sebenarnya adalah modal awal agar santri tampil lebih percaya diri.

Kita patut memberi apresiasi kepada Nova Iriansyah, atas apresiasi dan harapan yang luar biasa kepada para santri di Aceh. Karena siapapun tahu potensi intelektual dan kompetensi para santri memang lebih dibanding para pelajar umum, yang hanya berkutat pada pelajaran umum, namun sangat kurang content agamis.

Sementara para santri—terutama—jebolan pesantren modern, memiliki kewajiban untuk mempelajari pengetahuan umum dan agamis secara berimbang. Sehingga dari sisi kompetensi, mereka memiliki nilai lebih.

Adalah terasa wajar, jika harapan untuk mengisi posisi di tataran birokrasi hingga level kepemimpinan itu dicuatkan oleh Plt Gubernur Nova. Karena memang ada nilai lebih dalam Pendidikan yang dilalui para santri. Namun kita juga berharap, pesan dan harapan itu bukan hanya sekadar basa basi.

Karena hingga saat ini masih banyak aparatur sipil negara (ASN) yang khusus dididik untuk kepamongprajaan belum mendapat kesempatan untuk duduk di posisi puncak kepamongprajaan, mulai dari lurah hingga gubernur sekalipun.

Kondisi itu selain karena keterbatasan tempat, juga disebabkan oleh kebijakan otonomi dalam pemerintahan, hingga memunculkan raja raja kecil di tataran birokrasi. Namun demikian, saat ini tak bisa dipungkiri jika ada beberapa pimpinan SKPA pemerintah Aceh berlatar kaum sarungan atau santri. Dalam keseharian, kondisi leadership mereka justru melebihi sejawatnya dari kalangan non santri.

Karena itupula, harapan untuk mengisi posisi puncak birokrasi itu adalah suatu keniscayaan. Bukan hanya sekadar basa basi penyenang hati. Hanya saja tentu dilakukan secara profesional, artinya melalui regulasi birokrasi yang ada, dengan mengedepankan kompetensi, skill serta kemampuan yang mumpuni. Artinya semua diberi kesempatan, tanpa ada embel diistimewakan. Dalam kondisi begini, santri di puncak birokrasi tentu tak lagi sekadar basa basi.

 

Nurdinsyam

Pemimpin Redaksi

Berita Terkini

Haba Nanggroe