Rumah Tiram, Memanusiakan Manusia

SALBIAH, wanita berkulit legam berusia 58 tahun itu tampak menjinjing sebuah ember plastik putih bekas kaleng cat berisi 25 kilogram

Ichsan SSTP MP

SALBIAH, wanita berkulit legam berusia 58 tahun itu tampak menjinjing sebuah ember plastik putih bekas kaleng cat berisi 25 kilogram di tangan kirinya. Sementara di tangan kanan tampak sebuah keranjang rajut tali nilon hijau.  Kedua wadah itu berisi tiram serta kerang hitam tipis yang biasa disebut limpeng. Matahari tampak mulai memanggang jagad buana, kemilau cahaya pantulan sinar terik memancar dari permukaan Waduk Aluenaga, Kecamatan Syiah Kuala, Kota Banda Aceh.

“Baru siap mencari tiram, sebentar lagi akan saya kupas setelah itu baru dijual ke pasar terdekat,” kata Salbiah dibarengi senyum walau wajah tampak lelah, karena baru berendam di air waduk yang airnya mulai naik karena terjadi pasang laut.

Layaknya pencari tiram dengan medan tugas yang terhitung berat, Salbiah tampil dengan jaket tebal panjang tangan, baju dalam kain, jilbab, celana panjang hitam hingga menyentuh tanah, plus sepatu plastik hitam ala anak SD plus sarung tangan ala kuli bangunan. Karena bergulat dengan air kuala berkadar salinitas tinggi, ‘uniform’ Salbiah tampak kumuh seperti karatan.

Salbiah dan Ramli

Salbiah, warga Dusun Musafir Desa Aluenaga, adalah bagian dari 300 an orang pencari tiram di Waduk Aleu Naga yang berada di bibir pantai yang menghadap Selat Malaka itu. Katanya, sejak empat tahun terakhir mencari tiram tidak lagi seperih masa sebelumnya. Tiram kini  tak lagi dikais dari batu batu tajam yang bisa mengoyak kulit tangan dan kaki. Bahkan jika bersepatu sekalipun.

Pada masa lalu, mencari tiram haruslah mengais keberuntungan, dengan berburu dalam areal yang luas, untuk sekadar mendapatkan satu atau dua mug–sebesar kemasan sabun colek–tiram. Risikonya adalah kulit tercabik, kaki terkelupas, baik karena batu batu tajam di dasar kuala, hingga karena faktor berendam hingga lima jam tiada jeda. Yaaa….faktor gambling atau berjudi dengan nasib lebih banyak berbicara.

“Alhamdulillah, sejak empat tahun terakhir, hal itu tak lagi terjadi. Kini kami lebih mudah dalam mencari tiram, karena sudah ada lhoom (rumah tiram-red), jadi tak perlu lagi mengikis tiram dari batu batu tajam  di sepanjang alur kuala saat air surut, yang mengancam keutuhan fisik,” ujar Salbiah, ibu dua anak yang ditinggal  mati oleh suaminya.

Salbiah adalah sisa tsunami yang menggulung Alue Naga di penghujung tahun 2004. Dari lima orang anaknya, dua orang selamat setelah digulung tsunami sejauh empat kilometer. Sedangkan tiga lainnya menjadi korban, sementara sang suami meninggal karena sakit. Salbiah sendiri kala itu sedang berjualan di Pasar Peunayong di jantung Kota Banda Aceh, yang juga terkena gelombng tsunami.

Dengan pola rumah tiram, Salbiah hanya menggantung ban bekas di tiang bambu yang ditancapkan tak jauh dari tepian waduk dengan kedalaman lebih kurang satu meter. Pada ban ban itulah kelak akan menempel tiram, dan Salbiah serta ratusan warga lainnya hanya perlu mengikis dinding ban untuk memanen tiram. Artinya, tak perlu lagi medan yang luas dengan risiko cedera yang tinggi.

Seperti diakui Ramli (35) juga warga Dusun Musafir Aluenaga, pemakaian ban itu adalah revolusi dalam hal mencari tiram. Dengan adanya pola ban, waktu berendam kala mencari tiram, tak butuh sampai lima jam. Karena hanya mengikis tiram dari ban yang bisa dipakai tanpa batas waktu.

Salbiah, Ramli serta para pemanen tiram lainnya di Aleunaga, rata rata bisa meraup Rp 150.000 per hari, dengan menjual 10-15 mug tiram yang siap dimasak atau telah dikupas. Setidaknya, rasa lelah para pencari tiram dari desa pesisir itu mulai terkonpensasi secara wajar, tak lagi berjudi dengan nasib.

Salah satu pelopor revolusi tiram itu adalah, Ichsan Rusdi S.ST.Pi, MP, seorang tenaga pengajar dari Fakultas Kelautan dan Perikanan Unsyiah. Pria muda yang telah menggeluti ilmu perikanan sejak pendidikan menengah di SUPN Ladong, Aceh Besar itu, telah melakukan serangkaian mapping masalah terhadap pencari tiram di sepanjang garis pantai Aceh Besar dan Kota Banda Aceh.

Alumni program Master Perikanan dari Unibraw Malang itu juga mendapat banyak ilmu tentang budidaya dan pola hidup tiram dari negeri jiran Malaysia. Berbekal itu lah, ia bersama timnya dipercaya untuk melakukan riset seputar persoalan yang melanda pencari tiram di seputaran Banda Aceh.

Salah satu hal yang paling krusial adalah isu tercemarnya tiram di seputaran Aluenaga dengan logam berat dari limbah rumah tangga yang menempel di batu batu yang selama ini menjadi media tiram.

Selain itu dari sisi psiko sosial, pencari tiram saat itu hanya tergantung dengan pasang surut air laut. Saat surut, barulah turun mencari tiram. Kalau surut saat malam, maka tiram tak lagi dicari dan roda kehidupan pun makin berat digelindingkan.

Selain itu, karena memburu waktu, anak anak usia sekolah mulai dari bocah ikut mencari tiram, hingga masa depan mereka makin kelam, karena pendidikan terlupakan. “Setelah melalui berbagai tahapan, termasuk rangkaian FGD dan mapping masalah, akhirnya direkomendasikan media ban sebagai solusi untuk semua problem itu,” ujar Ichsan, pria muda kelahiran Peudada, Birueun, 24 Desember 1986  yang juga alumni STP Jakarta.

Desa Aleunaga yang sejak tahun 2017 menjadi desa binaan PT Astra Grup melalui program Kampung Berseri Astra (KBA) yang berkomitment untuk peningkatan bidang Pendidikan, kesehatan, lingkungan dan kewirausahaan. Khusus untuk bidang Pendidikan, telah disalurkan bea siswa sejak tiga tahun terakhir.

Dengan rincian, tahun 2017 sebanyak 37 orang, tahun 2018 banyak 35 orang serta tahun 2019 sebanyak 40 orang. Dengan besaran sebagai berikut, untuk murid SD Rp 480.000, pelajar SMP Rp 650.000 dan siswa SMA Rp 750.000.

Keberadaan bea siswa itu secara langsung kembali membuat lembar masa depan anak anak harapn bangsa itu kembali bisa dirajut.

Rumah tiram di Waduk Kuala Aleu Naga

Sementara itu, selain menjawab problema pencemaran logam berat seperti pb, zinc dan cadnium, media ban dianggap sangat tangguh dan diminati oleh mijah tiram atau sebagai spack collector. Warga pencari tiram tak perlu lagi menunggu air surut untuk mencari tiram pada batu batu di dasar kuala atau waduk. Karena media ban tergantung dengan tali di tiang bambu atau sarana lain, dan tinggal diambil kapan petani mau.

Warga tak perlu repot lagi mengajak anak anak untuk memanen tiram karena takut terlambat bertarung dengan air pasang, hingga anak anak atau generasi penerus bisa dengan nyaman sekolah dan merajut masa depan. Termasuk dengan memanfaatkan bea siswa dari PT Astra International tentunya.

Kini selain beroperasi secara mandiri, Salbiah, Ramli serta ratusan pencari tiram lainnya di Aleunaga, telah membentuk setidak nya 30 kelompok pencari tiram. Setiap kelompok ada anggota 30 orang, mereka membuat rumah tiram secara kolektif, hingga biaya bisa diirit. Selain itu juga ada bantuan dari Pemko Banda Aceh serta pihak lain, untuk memberdayakan kelompok itu.

Yaaa…kini petani tiram di Aceh Besar dan Banda Aceh tak perlu lagi tergantung dengan pasang surut, atau produksi tiramnya tercemar logam berat, karena sudah ada rumah tiram. Mereka kini bisa lebih lega, karena target Rp 150.000 per hari hampir pasti, dan tak lagi perlu berjudi dengan pasang surut air laut, plus tak lagi berendam hingga berjam jam dengan risiko tersayat atau tertusuk batu tajam.

Salbiah dan ratusan pencari tiram itu, nasibnya tak lagi sepahit pencari lokan di Aceh Singkil yang main petak umpet dengan buaya, saat memanen lokan, karena buaya menyukai lokasi ‘tambang’ lokan. “Kami hanya ingin memnusiakan manusia pencari tiram, melalui riset kami. Setelah itu semua terpulang pada mereka,” kata Ichsan yang juga peraih SATU Indonesia Award. Selaku anak muda, Ichsan ingin mendedikasikan dirinya untuk hal hal yang bermanfaat bagi masyarakat di sekitarnya, lewat lima bidang yaitu, kesehatan, pendidikan, lingkungan, kewirausahaan dan teknologi. Untuk itulah ia hadir di Aluenaga, sebagai mitra Astra, dalam memperbaiki dan memberikan yang terbaik bagi seluruh anak bangsa.(nurdinsyam)

Berita Terkini

Haba Nanggroe