BANDA ACEH I ACEH HERALD
PANSUS Waii Nanggroe Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mengusulkan pembentukan Forum Musyawarah Rakyat Aceh, sebagai representasi kekhususan yang dimiliki Serambi Mekkah.
Juru Bicara Pansus Wali Nanggroe yang menyusun Rancangan Qanun tentang Lembaga Wali Nanggroe, Saiful Bahri, mengatakan, jika di tingkat pemerintah propinsi ada Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkompinda) dan gubernur menjadi wakil pemerintah, maka di Aceh bisa punya Forum Musyawarah Pimpinan Rakyat. “Secara periodik setiap 1 bulan, 3 bulan atau 6 bulan sekali, atau jika ada hal yang urgent akan disuarakan secara bersama dalam forum koordinasi ini. Wali Nanggroe Aceh akan diposisikan sebagai ketua,” kata Saiful Bahri dalam Paripurna Dewan tentang Persetujuan Penetapan Rancangan Qanun Usul Inisiatif DPR Aceh, di gedung Paripurna DPR Aceh, Kamis 2 September 2021.
Dalam undang-undang, diatur bahwa Aceh punya lembaga khusus seperti lembaga Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), Majelis Pendidikan Aceh (MPA), Baitul Mal dan tentunya Mahkamah Syariah. Namun koordinasi antarlembaga ini dinilai anggota DPRA belum maksimal, sehingga terlihat seperti tidak saling mendukung. Dan di sinilah peran Forum Musyawarah Rakyat Aceh sebagai lembaga konsultatif dan juga untuk mengkonsolidir lintas lembaga khusus tersebut.
Saiful Bahri menyebutkan, Forum Musyawarah Rakyat Aceh itu nantinya juga membawa dan menyuarakan kepentingan Aceh pada tingkat nasional maupun internasional. Karena itu, anggota dewan memandang perlu dibentuk Forum Musyawarah Rakyat Aceh, dengan Wali Nanggroe sebagai ketua forum.
Saiful mengatakan jika legalitas Wali Nanggroe ini diatur khusus, sebagai kepemimpinan adat. Lembaga ini bukanlah lembaga politik dan pemerintahan di Aceh, melainkan bersifat independen. Wali Nanggroe , kata Saiful Bahri adalah sosok yang bisa menjadi pembina untuk semua kekuatan politik dan kemasyarakatan yang ada di Aceh
Politisi partai Aceh itu menyebutkan penyusunan rancangan Qanun tersebut dilakukan untuk memberikan kewenangan yang cukup kepada Wali Nanggroe, sebagai tokoh yang memiliki kedudukan yang terhormat dan memberi solusi atas permasalahan yang dialami rakyat Aceh.
Selain rancangan qanun (Raqan) Tentang Wali Nanggroe tersebut, DPR Aceh juga membahas enam rancangan lainnya. Di antaranya adalah Raqan tentang Tata Kelola Minyak dan Gas Aceh, Raqan Tentang Tata Niaga Komuditi Aceh dan Raqam Tentang Bahasa Aceh.
Iskandar Usman al Farlaky, anggota DPRA Fraksi Partai Aceh, menyampaikan saran secara lebih spesifik. Ia berharap yang nantinya bakal lahir bernama Qanun Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Tradisional Aceh.
“Jangan selamanya aktifitas masyarakat kita (penambang) dianggap melakukan pertambangan ilegal. Perlu dipertegas ini,” kata dia.
Sebagai salah satu prakarsa lahirnya raqan itu, Iskandar melihat bahwa selama ini aktifitas pertambangan tradisi telah dapat menghidupkan banyak orang miskin dan para janda. “Jangan sampai saat lahir qanun mereka justru tersingkir. Mereka harus terlindungi. Qanun ini bisa harus bermakna dalam jangka yang panjang,” kata Iskandar.
Paripurna dewan tersebut diikuti oleh Asisten I Setda Aceh, M. Jafar. Sementara para Kepala Satuan Kerja Perangkat Aceh dan Kepala Biro di lingkungan Setda Aceh, mengikuti paripurna tersebut secara virtual.(adv)