TIBA tiba ingatan ini melayang ke Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Banyumas, Jawa Tengah. Seorang wanita miskin yang biasa disapa Nek Minah (55), harus duduk di kursi pesakitan PN Puwokerto, Jateng, hanya karena memetik tiga buah coklat di lahan garapannya yang juga milik sebuah perusahaan perkebunan PT Rumpun Sari Antan (RSA).
Perbuatan Nek Minah yang lancang memetik tiga buah coklat itu dipergoki oleh mandor kebun, yang kemudian berujung ke ranah hukum. Para hamba hukum atas kehendak penegakan hukum atau law enforcement, Nek Minah pun diseret ke meja hijau. Sekali lagi hanya gara gara tiga butir coklat. Gegerlah negeri ini. Simpati mengalir kepada nenek miskin itu, dan para penegak hukum pun seperti serba salah.
Sidang putusan untuk nenek itu diliput secara luar biasa, karena ada pihak malah yang menjadikan itu sebagai isu yang dijadikan sebagai komoditi jual. Hari itu, Kamis (19/11/2009), majelis hakim yang dipimpin Muslih Bambang Luqmono SH memvonis sang nenek 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan selama 3 bulan. Artinya Nek Minah tak jadi menghuni hotel prodeo. Semua pun lega dengan putusan tersebut.
Bahkan, Ketua Majelis Hakim Muslih Bambang Lukomono SH, tampak menangis saat membacakan putusan. “Kasus ini kecil, tapi telah melukai hati banyak orang,” ujar Muslih sambil tak bisa menahan laju tangisnya.
Drama Nek Minah yang terjerat tiga buah coklat itulah, yang kini sepertinya terulang di PN Lhokseumawe. Adalah seorang ibu rumah tangga (IRT) yang masih dalam suasana berkabung, Mursyidah, asal Gampong Meunasah Mesjid, Kecamatan Muara Dua, Kota Lhokseumawe. Wanita itu terpaksa duduk di kursi pesakitan, dengan dakwaan perusakan pangkalan elpiji 3 kilo pada Nopember 2018 lalu.
Wanita yang baru delapan hari ditinggal suaminya itu, dituntut 10 bulan penjara oleh Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Lhokseumawe. Jaksa Penuntut Umum (JPU), M Doni Siddiq, mengatakan tuntutan itu sesuai dengan tindakan terdakwa melakukan pengrusakan yang melanggar Pasal 406 ayat (1) KUHP dan menurut pihaknya sudah sesuai dengan Pasal 185 ayat (6) KUHAP dan 188 KUHAP disertai barang bukti yang ada.
Doni berharap, masyarakat tidak salah memahami apa yang mereka lakukan, karena itu sebagai wujud penegakan hukum terhadap perbuatan terdakwa yang telah merusak barang milik orang lain. Tindakan itu hanya sebagai bentuk penegakan hukum atau law enforcement.
Jika bicara dengan kaedah penegakan hukum, memang tak ada yang aneh dengan persidangan Mursyidah. Wanita miskin itu didakwa melakukan perusakan pangkalan elpiji 3 kilogram yang diklaim oleh warga sering bertindak tidak fair, termasuk dengan mencabut segelnya, hingga seakan akan gasnya kosong.
Perusakan itu yang kemudian dilaporkan ke polisi, hingga kasus yang banyak pihak mengnggap ‘remeh temeh’ berujung ke ranah hukum. Dan Mursyidah pun dituntut 10 Bulan kurungan atau mrlanggar Pasal 406 ayat 1 KUHP. Yang membuat miris, Mursyidah belum genap dua pekan menyandang status janda. Ya…wanita yang sehari hai menjadi buruh cuci itu baru ditinggal mati oleh suaminya. Hamdani yang hanya seorang buruh bongkar muat.
Kepergian sang suami, membuat Mursyidah harus menjadi orang tua tunggal untuk tiga anaknya, Fitriani (12), M Reza (10), dan M Mirza (4). Kini Mursyidah hanya menunggu detik detik kepastian dirinya merasakan dinginnya sel penjara. Namun bukan itu yang membuatnya galau, siapakah yang nanti menjaga dan merawat dan memberi makan ketiga buah hatinya. Siapakah yang melihat para bocah mungil itu, di gubuk kayu sederhana Mursyidah yang hanya berukuran 4×6 meter.
Kita hanya mampu menunggu, semua kepastian itu pada Selasa (5/11/2019) kala sidang pamungkas berupa pmbacaan putusan. Kita tak berharap hakim berurai air mata saat membacakan putusan. Namun setidaknya ada pertimbangan yang lebih manusiawi dalam kasus janda miskin ini. Kasus Nek Minah bisa menjadi sedikit gambaran soal nurani itu. Karena pedang keadilan memang harus ditegakkan, namun logika kearifan juga diperlukan. JIka tidak kasus inipun berpotensi melukai hati banyak orang.
Nurdinsyam
Pemimpin Redaksi