Mempersoalkan Wewenang MK Menguji Sistem Pemilu hingga Kerugian Caleg

JAKARTA | ACEHHERALD.COM — Mahkamah Konstitusi (MK) tengah menangani perkara uji materi UU pemilu yang mempersoalkan sistem proporsional terbuka alias coblos calon legislatif (caleg) di surat suara. Beberapa waktu terakhir, MK diklaim akan mengabulkan gugatan pemohon hingga mengubah sistem pemilu kembali jadi proporsional tertutup alias hanya coblos partai di surat suara. Klaim itu diungkap pakar … Read more

Iklan Baris

Lensa Warga

JAKARTA | ACEHHERALD.COM — Mahkamah Konstitusi (MK) tengah menangani perkara uji materi UU pemilu yang mempersoalkan sistem proporsional terbuka alias coblos calon legislatif (caleg) di surat suara.

Beberapa waktu terakhir, MK diklaim akan mengabulkan gugatan pemohon hingga mengubah sistem pemilu kembali jadi proporsional tertutup alias hanya coblos partai di surat suara.

Klaim itu diungkap pakar hukum yang juga dikenal sebagai eks Wamenkumham Denny Indrayana beberapa waktu lalu. Denny menyebut berdasarkan informasi terpercaya MK akan mengabulkan gugatan tersebut, dan akan diwarnai pendapat berbeda (dissenting opinion) di antara sembilan hakim konstitusi.

Namun, MK membantah ‘bocoran tersebut. Terbaru, Ketua MK Anwar Usman membantah sudah ada putusan mengenai sistem proporsional tertutup untuk pemilu. Bahkan, katanya, para hakim MK pun belum menggelar rapat permusyawaratan untuk menentukan putusan tersebut.

“Ah itu saya bilang, apa yang bocor kalau belum putus?” kata Anwar setelah perayaan Hari Lahir Pancasila di Monas, Jakarta, Kamis (1/6).

Sehari sebelumnya, Pakar Hukum Tata Negara dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Ismail Hasani menyebut MK tak berwenang untuk melakukan ‘judicial review’ pada salah satu pasal di UU Pemilu yang berkaitan dengan sistem pemilihan legislatif.

Menurutnya sistem pemilu yang mana untuk diterapkan di Indonesia merupakan kewenangan lembaga pembentuk UU, yaitu DPR dan Pemerintah karena tergolong open legal policy atau kebijakan hukum terbuka.

“Jadi seharusnya dalam kasus ini menurut saya sejak mula MK memastikan bahwa ini adalah open legal policy, karena itu bukan menjadi kompetensi MK untuk melakukan pengujian,” ujar Ismail kepada CNNIndonesia.com, Rabu (31/5).

Jika mengacu pada UUD 1945, menurutnya, konstitusi tidak mengatur secara detail terkait sistem pemilihan itu. Sehingga persoalan itu menjadi ranah kewenangan pembentuk UU.

Selain itu, menurutnya sistem mana yang dipilih apakah sistem proporsional terbuka maupun tertutup juga tak berkaitan dengan per tentangan norma konstitusi.

“Tetapi Konstitusi tidak mengatur secara detail, yang artinya diserahkan kewenangannya kepada pembentuk UU,” ujarnya.

Oleh karena itu, Ismail memandang MK berpotensi akan memperluas kewenangannya (self expansion) jika standar kebijakan hukum terbuka masih rancu.

“Kalau tidak, MK mengelak di banyak isu ya, tapi juga agresif melakukan perombakan dengan membentuk norma baru,” katanya.

Kerugian bakal caleg
Sementara itu, Peneliti Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai bakal calon legislatif yang telah menyelesaikan pendaftaran dan proses verifikasi akan dirugikan jika MK mengembalikan sistem pemilu menjadi proporsional tertutup jelang Pemilu 2024 mendatang.

Baca Juga:  Skandal Emas Rp189 T Bea Cukai Terbongkar, Ini Kronologinya

“Banyak Bacaleg yang sudah terdaftar dan sedang melalui proses verifikasi akan merasa dirugikan,” ujar Kahfi Adlan Hafiz kepada CNNIndonesia.com, Selasa (30/5) siang.

Kahfi menilai perubahan itu juga akan menghambat jalannya Pemilu. Ia juga menilai perubahan itu tak diperlukan, terlebih tahapan pemilu sudah dimulai.

“Perubahan sistem pemilu di tengah tahapan akan mengganggu jalannya proses pemilu. sebab, penyelenggaraan Pemilu 2024 sudah didesain berdasarkan UU existing yang menentukan sistem proporsional terbuka sebagai sistem pemilu legislatif,” ujar Kahfi.

Kendati, tak sepakat dengan perubahan itu, Kahfi mengatakan pihaknya menilai memang perlu evaluasi atas UU Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilu. Namun, dia menyarankan agar evaluasi sebaiknya dilakukan melalui proses legislasi antara Pemerintah dan DPR, bukan di MK.

“Sistem Pemilu sangat penting untuk dievaluasi dan diperbaiki, namun persidangan di MK bukan forum yg tepat. Forum legislasi menjadi pilihan terbaik untuk mendiskusikan evaluasi dan pembenahan sistem pemilu,” katanya.

Sementara itu, MK disebut terkesan tak berimbang dalam menerima penggugat sistem proporsional tertutup dalam uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Hal itu disampaikan Wakil Sekjen DPP PKS Bidang Hukum dan Advokasi Zainudin Paru usai menyerahkan kesimpulan di gedung MK, Rabu (31/5).
Zainudin menilai permohonan yang diajukan cacat formil lantaran ada perbedaan tanda tangan.

Perbedaan tanda tangan kuasa hukum ditemukan pihaknya di berkas permohonan pada 1 November 2022 dan tanda tangan yang tertera di berkas perbaikan permohonan pada 6 Desember 2022. Dalam salinan yang diberikan PKS, terdapat tanda tangan kuasa hukum para pemohon, yakni Sururudin, Iwan Maftukhan, dan Aditya Setiawan.

“Soal cacat formil tadi, tentang tanda tangan yang tidak identik di permohonan dan perbaikan permohonan. Jadi mohon maaf kami terpaksa harus mengatakan bahwa Mahkamah Konstitusi terkesan tidak berimbangan dalam memperlakukan semua pemohon yang datang ke MK. Misalnya, sekarang pemohon terkait dengan sistem pemilu ini nyata sekali pada permohonan pertama tanda tangannya beda, di perbaikan permohonan tanda tangannya beda,” ujar Zainudin.

Kemudian, Zainudin membandingkannya dengan cara MK menghadapi gugatan Undang-Undang Ibu Kota Negara (UU IKN) yang diajukan Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Lampung (BEM Unila). Ia mengatakan majelis hakim mencecar BEM Unila terkait keaslian tanda tangan dalam gugatan tersebut.

Baca Juga:  SAG : Corona Tak Bedakan Laki-laki atau Perempuan, Kasus Baru 18 Orang

Kata Zainudin, mereka disebut dapat berhadapan dengan urusan pidana jika tanda tangan tersebut palsu. Di tengah ketakutan itu, jelas Zainudin, mereka memilih mencabut gugatannya.

Kendati demikian, Zainudin menilai sikap tegas para hakim tak dialami para penggugat sistem pemilu.

“Bagi kami ini serius. Apapun argumentasinya kalau syarat formil tidak terpenuhi, maka seharusnya dari awal sidang ini sudah ditutup, tidak boleh diteruskan. Karena awal dari syaratnya sudah tidak terpenuhi. Ini cacat formil. Ini kami membandingkan, kenapa perlakuan MK terhadap adik-adik BEM Unila itu begitu kencang, tegas, tapi tidak demikian dengan pemohon kali ini,” imbuhnya.

Hal serupa disampaikan kuasa hukum pihak terkait Derek Loupatty, Heru Widodo. Dia juga menemukan dugaan perbedaan tarikan pada tanda tangan berkas permohonan.

Heru mengatakan pihaknya menarik kesimpulan perbedaan tarikan tanda tangan ini mengakibatkan permohonan jadi cacat formil.

Pihaknya mengaku telah meminta klarifikasi dalam persidangan 23 Mei lalu. Namun, dia mengatakan MK meminta pihaknya untuk menyampaikan hal tersebut dalam kesimpulan.

“Pada persidangan terakhir kami sudah minta klasifikasi tapi mahkamah menyampaikan bahwa silahkan dibuat dalam kesimpulan. Makanya kami sampaikan dalam kesimpulan. Ini hal yang sangat prinsip, kalau seandainya benar ini ditanda tangan bukan oleh yang bersangkutan, ini kan cacat, cacat ini kan terus melekat,” kata Heru.

CNNIndonesia.com telah menghubungi Juru Bicara MK Fajar Laksono melalui pesan dan telepon untuk meminta tanggapannya terkait pernyataan kedua pihak tersebut. Namun belum direspons hingga berita ini diturunkan.

Sistem pemilu proporsional terbuka digugat ke MK oleh sejumlah orang, beberapa di antaranya datang dari partai politik. Penggugat itu adalah Demas Brian Wicaksono, Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marijono.

Pemilih tidak bisa memilih calon anggota legislatif langsung jika pemilu menggunakan sistem proporsional tertutup. Pemilih hanya dapat memilih partai politik. Oleh karena itu, partai punya kendali penuh menentukan siapa yang duduk di parlemen.

Dari sembilan partai di parlemen, hanya PDIP yang mendukung diterapkan sistem proporsional tertutup. Sedangkan delapan fraksi lain, yakni Golkar, Gerindra, NasDem, PKB, PAN, PKS, Demokrat, dan PPP menolak usul tersebut.

Sumber: CNN Indonesia

Berita Terkini

Haba Nanggroe