
DARI TENTARA menjadi pendaki gunung tertinggi dunia, Himalaya yang bersuhu dingin yang ekstrem, tentunya biasa. Tapi tidak untuk Hari Budha Magar, seorang mantan Gurkha. Ini adalah keajaiban.
Ketika ditanya, “Apakah anda tidak takut terkena ‘radang es (frosbiten)’?”, Magar hanya tertawa, sebab ia tidak lagi memiliki jari-jari kaki. Kedua kakinya telah di amputasi hingga dengkul akibat terkena ledakan ranjau ketika bertugas di Afghanistan.
Ya, Magar adalah seorang difabel tanpa kaki dan tinggal di Kota London. Ia sedang menyusun rencana pendakian Gunung Everest, Himalaya pada musim semi 2020. Pendakian ini ia lakukan sebagai bagian dari cita-citanya. Yaitu berdiri di puncak Himalaya, gunung tertinggi di dunia yang menaungi kampung halamannya.
Apa salah, jika saya mendaki Himalaya?

Magar tumbuh di pedesaaan sebelah barat Nepal. Dari buku-buku sekolahnya, ia membaca peristiwa pertemuan antara Edmund Hillary dan Tenzing di waktu musim gugur, 1953. “Saya berpikir ‘Bagaimana jika saya mendaki gunung?'”, tanyanya.

Ketika berusia 19 tahun, Magar bergabung dengan militer Inggris dan lulus sebagai bagian pasukan khusus Gurkha. Pasukan ini merupakan divisi khusus yang telah dibentuk oleh Kerajaan Inggris sejak 200 tahun lalu.
Selama mengabdi disana, ia telah ditempatkan di lima benua dengan penugasan sebagai penembak jitu hingga tim medis. Hingga sebuah peristiwa di tahun 2010, merubah jalan hidupnya.
“Hidup saya berubah setelah ledakan bom itu,” ujarnya sambil menjentikan jari. Ia terkena ledakan, ketika berusaha menjinakan bom dalam sebuah patrol rutin di Afghanistan. Sebuah peristiwa yang menyebabkan kedua belah kakinya hancur dan harus di amputasi hingga bawah panggul.
Dalam peristiwa ledakan tersebut, ia ditolong oleh pasukan Amerika Serikat. Menjalani dua kali operasi di Pangkalan Udara Militer Bagram, yang akhirnya dikirim pulang ke Inggris. Empat tahun kemudian, ia dibebastugaskan dari kesatuan dengan pangkat Kopral. Saat itu Magar berumur 35 tahun.
“Kondisi saat itu (tanpa kaki), saya tidak tahu bagaimana memulai hidup”, ungkapnya. “Jujur, saya tidak bisa membayangkannya. Sebab untuk ke toilet, makan bahkan mandi, saya tidak bisa melakukannya sendiri”, tambahnya lagi.
Magar mencoba bangkit, “selangkah demi selangkah” untuk memulihkan kepercayaan dirinya. Ia melakukan aktifitas olahraga seperti latihan yang ia lakukan selama rehabilitasi. Tahun 2011, dalam sebuah perjalanan ke Jerman dan Pegunungan Alpen, Austria ia mulai tertarik untuk melakukan panjat tebing. Ia sampaikan hal ini kepada Instrukturnya dan mereka menjawab, ”Kami bersedia membantu !”.

Ia kembali ke Nepal dengan tubuh yang sehat seperti seorang Gurkha dan mulai mendaki gunung Krishna di ketinggian 4,700 meters. “Yeah, itu yang terjadi,” ungkap Magar. Sebuah perjalanan yang membuatnya yakin mampu melangkah menuju puncak Himalaya.
Tahun 2017, bersama tim pendaki Mera Peak, ia mencapai ketinggian 6,476 mdpl. Namun sayangnya, Pemerintah Nepal pada Januari 2018 mengeluarkan peraturan yang melarang pendaki yang mengalami cacat fisik dan kebutaan untuk mendaki Himalaya. Sebuah peraturan untuk menekan angka kematian akibat kecelakaan saat memanjat tebing.
Untunglah, Maret 2018, pengadilan tinggi Nepal telah membatalkan peraturan tersebut. Ini sebuah harapan baru bagi Magar dan timnya, untuk kembali menyusuri pegunungan Himalaya. Dan kini setelah persiapan hampir dua tahun, mereka akan segera mencoba kembali untuk berkunjung ke Himayala.
Lebih Baik Mati Daripada Hidup sebagai Pengecut
Magar ingin menjadi pendaki difabel tanpa kaki yang pertama mencapai puncak Himalaya. Sebelumnya telah tercatat nama Mark Inglis dari New Zealand di tahun 2006 dan Xia Boyu dari China di tahun 2018 (berhasil setelah lima kali perjuangan). Inglis dan Xia, keduanya merupakan difabel tanpa kaki di bawah lutut. Dan Magar ingin menjadi pendaki pertama ‘difabel tanpa kaki diatas lutut’.

“Di bawah lutut atau di atasnya, memiliki perbedaan yang signifikan”, jelasnya. “Memiliki lutut tentu memiliki tantangan, namun anda masih mampu mengangkat paha ke atas dan kebawah untuk membantu pergerakan. Tapi jika seperti saya, kamu akan merasa seperti seekor pinguin.”
Sekarang ia menggunakan prostisis (kaki palsu) yang memiliki betis dengan engsel dan telapak kaki. Namun ketika memanjat, ia menggantikannya dengan “stubis,” dengan tungkai yang lebih pendek dan bagian bawahnya dilapis plat – plat/lempengan ini dapat di sesuaikan menjadi feature crampons.
Inglis, melalui email memperingatkan Magar agar memperhatikan hal-hal kecil, terutama di ketinggian 8000 mdpl. “Sebab batas antara ide yang bagus, ide besar atau ide terburuk adalah ide yang dapat menyelamatkan nyawa”, ungkapnya.
Ia sendiri mengalami serangan ‘Frostbite’ yang memberikan dampak kerusakan pada ujung tungkai tubuhnya yang di amputasi. Untuk menyembuhkan cedera yang didapatnya dalam pendakian terakhir, Inglis harus melakukan operasi kembali.

Salah satu nasihatnya kepada Magar adalah cara menghindari cedera, dengan teknologi yang memungkinkan. Termasuk pemakaian ‘soket serat karbon dengan opsi pemanasan dan isolasi.
“Stump frostbite adalah tantangan nyata bagi Hari,” jelasnya. “Saya berada di atas tumpukan salju setinggi lutut, — 50 (Celcius) di dekat puncak — yang artinya setinggi pinggang dalam untuk Hari.”
“Setiap hal kecil membantu di atas 8.000 m,” tambah Inglis, “Batas antara ide bagus, ide sangat bagus, atau ide buruk… dan yang terbaik adalah ide menyelamatkan jiwa.”
Pada bulan Agustus, Magar mendaki Mont Blanc dengan Justin Davis yang juga difabel sebagai bagian dari pelatihannya. Ketika mencapai puncak, ia harus terus bergerak selama 23 jam. “Saya merangkak cukup banyak. Sekitar 90-95%, ketika di puncak,” ungkapnya.
Magar juga mengungkapkan, mobilitas dirinya tiga kali lebih lambat dari orang biasa. Ini akan menghabiskan banyak waktu di perjalanan, dan lebih banyak persediaan. “Namun saya punya tim yang hebat,” katanya.
Tim intinya adalah Kapten Korps Marinir, Krishna dan pendaki gunung Nepal yang telah mencatatkan lima kali mencapai puncak. Rencana lain juga sudah disiapkan untuk delapan ketinggian tinggi termasuk tim penyelamat, enam porter Sherpa dan, sambil menunggu konfirmasi, seorang fisioterapis, prosthetist, dan dokter.

Sementara itu, Rekan Gurkha lainnya terus menyemangati dirinya. Mereka mengatakan dia hanya perlu terus melanjutkan. “Berlatihlah keras, bertarunglah dengan mudah” adalah pola pikir militer, Magar mengatakan bahwa ia akan bertindak.
Lebih mengerikan lagi ia juga menyebut moto Gurkha, “Lebih baik mati daripada menjadi pengecut.” Sebagai seorang ayah dari tiga anak kecil, itu menimbulkan pertanyaan mengapa ia mengambil risiko seperti itu.
“Awalnya istri saya berkata, ‘Tetap di rumah dan menjaga anak-anak Anda … mereka telah melalui banyak hal,'” katanya. “Tapi ini yang ingin aku lakukan.” Dia jernih tentang bahaya pendakian dan mengatakan dia “benar-benar siap” jika yang terburuk terjadi.
“Banyak orang mengatakan bahwa saya melakukan ini untuk saya sendiri,” katanya. “Sejujurnya, ini adalah hidup keduaku dan aku ingin membuat hidupku bermakna mungkin sebelum aku mati.”
“Di Nepal kami mengatakan bahwa menjadi cacat adalah ‘seperti beban bumi’ – itulah mentalitasnya,” ia menjelaskan. Magar berharap bahwa dengan upaya KTT dia dapat meningkatkan kesadaran tentang apa yang mungkin bagi orang cacat di negara kelahirannya, dan mudah-mudahan menginspirasi orang lain lebih jauh.
“Ini jauh lebih besar dari hanya saya,” tambahnya. “Saya pikir satu orang dapat membuat dampak besar di dunia. Saya percaya itu.” (cnn)
Editor: Salim