Jimly Sebut Rencana RUU MK ‘Buah Kemarahan’ Pembatalan UU Ciptaker

JAKARTA | ACEHHERALD — Pakar Hukum Tata Negara Jimly Asshidiqie menilai perubahan UU Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan cerminan dari kemarahan DPR terkait putusan yang menyatakan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) inkonstitusional bersyarat. Sebagai mantan ketua MK, Jimly mengatakan pernah merasakan hal serupa saat merancang putusan soal anggaran pendidikan sebesar 20 persen pada 2008 lalu. Namun … Read more

Iklan Baris

Lensa Warga

JAKARTA | ACEHHERALD — Pakar Hukum Tata Negara Jimly Asshidiqie menilai perubahan UU Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan cerminan dari kemarahan DPR terkait putusan yang menyatakan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) inkonstitusional bersyarat.

Sebagai mantan ketua MK, Jimly mengatakan pernah merasakan hal serupa saat merancang putusan soal anggaran pendidikan sebesar 20 persen pada 2008 lalu.

Namun saat itu, Jimly mengaku hanya mendapatkan respons dari badan eksekutif yakni pemerintah RI.

Tapi, berbeda ketika MK memutuskan UU Ciptaker jilid 1 itu inkonstitusional bersyarat pada 2021 silam. Hal itu, kata dia memancing reaksi dari eksekutif dan legislatif. Sehingga terjadilah revisi RUU MK sebagai reaksi kemarahan tersebut. 

“Nah sekarang, UU Ciptaker. Dibatalkan. Semua orang marah,” ujar Jimly dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) soal RUU MK di Komisi III DPR RI, Kamis (30/3).

“Saya kira itu mempengaruhi pemecatan Hakim Aswanto dan tercermin juga kemarahan itu di dalam RUU ini juga,” kata Jimly.

Ketua pertama MK (2003-2008) itu  kemudian menyoroti soal bab soal recalling dan evaluasi yang saat ini masih tertera dalam UU yang berlaku sesuai pasal 24C ayat (1) dan ayat (2).

“Jadi bab mengenai evaluasi dan recalling itu nggak bener itu, jadi saran saya dicoret lah itu,” kata dia yang kini dikenal pula sebagai anggota DPD RI.

DPR kembali akan mengubah UU MK untuk kali keempat. Anggota Komisi III DPR Habiburokhman pada Rabu (14/2) lalu mengatakan UU MK yang usia perubahannya belum lama itu dinilai kini sudah tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan.

Selain itu, usulan revisi juga didasarkan pada beberapa ketentuan yang dibatalkan Putusan MK Nomor 96/PUU-XVII/2020 dan Putusan MK Nomor 56/PUU-XX/2022.

Baca Juga:  Respons Pimpinan KPK soal Desakan Pansel Capim KPK Segera Dibentuk

Usulan usia MK minimal 60 tahun

Dalam RDPU di Komisi III DPR, Jimly mengusulkan agar hakim MK diatur minimal berusia 60 tahun.

“Kalau saya mengusulkan dari dulu ya 60 tahun (usia minimal menjadi hakim MK). 60 sampai 70. jadi 10 tahun. Tapi tidak ada jeda dan harus dites ulang,” kata Jimly.

Dalam RDPU tersebut, Jimly juga mengusulkan agar periodisasi lima tahunan untuk pemilihan hakim konstitusi selayaknya sudah harus diubah menjadi batasan usia.

Sebab menurut Jimly, periodisasi lima tahunan tersebut akan mendekatkan hakim konstitusi ke dalam dinamika politik sekaligus menjauhkan sikap netral dari hakim MK.

“Saya sendiri sejak periode pertama terus mengusulkan supaya periodisasi itu jangan diteruskan. Karena periodesasi lima tahunan, dinamika politik itu tidak cocok untuk MK,” jelas Jimly.

“Maka dari awal, dari pengalaman, saya bilang ini harus dengan usia saja. Jangan periodisasi Nah baru sekarang ini terwujud, periodisasi diganti menjadi usia,” lanjutnya.

Selain itu, menurut Jimly, hakim MK merupakan sarana pengabdian tertinggi bagi seorang hakim. Sehingga, usia yang semakin matang akan menjauhkan sang hakim dari tendensi lain.

“MK itu berbahaya kalau dipakai untuk motif politik, bahaya. Apalagi ekonomi. Jualan informasi saja menghasilkan duit kayak Akil Mochtar itu,” ungkap Jimly.

“Nah jadi saran saya ini dibikin tua, 60. Jadi mantan-mantan menteri-menteri, dirjen, itu kan banyak sekali eselon satu (di usia) 60 sudah pensiun,” sambungnya.

Komisi III DPR sebelumnya resmi mengusulkan revisi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK. Usulan revisi itu disampaikan Komisi III dalam rapat kerja dengan pemerintah yang diwakili Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, Rabu (14/2).

DPR mengusulkan empat poin perubahan dalam UU MK. Masing-masing yakni, syarat batas usia minimal hakim konstitusi, evaluasi hakim konstitusi, unsur keanggotaan majelis kehormatan MK, dan penghapusan ketentuan peralihan mengenai masa jabatan ketua dan wakil ketua MK.

Baca Juga:  MK Tolak Gugatan Muchdi PR soal Presiden 2 Periode Bisa Jadi Cawapres

Sumber: CNN Indonesia

Berita Terkini

Haba Nanggroe